Jumat, 05 Juni 2009

Tarekat Sanusiyah bukan semata-mata tarekat biasa, melainkan ia adalah sebuah gerakan. Gerakan tajdid dan islam. Pengasasnya adalah Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi.

Syeikh Muhammad bin Ali as-Sanusi telah dilahirkan pada hari Isnin 12 Rabiulawal 1202H/22 Disember 1787M di sebuah tempat yang bernama al-Wasitah, di Mustaghanim, Algeria.

Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang ulama yang ikhlas dan suka merendahkan dirinya. Oleh itu, beliau telah mencapai kemajuan yang pesat di atas jalan kerohanian.

Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Beliau menyeru kepada ijtihad dan memerangi taqlid. Syeikh as-Sanusi yang bermazhab Maliki, akan menyalahi pendapat mazhabnya jika ada mazhab lain yang lebih mendekati kepada kebenaran.

Antara bintang dari tarekat ini adalah Umar Mukhtar sang Singa Padang Pasir yang terkenal itu.

Berikut ini adalah ringkasan dari Tarekat As-Sanusiyah:
- Sanusiyah merupakan gerakan dakwah Islam, islah dan tajdid.
- Secara umumnya mereka berpegang dengan al-Quran dan al-Sunnah dengan pengaruh tasauf.
- Ia muncul di Libya pada kurun ke-13 H.
- Tersebar luas hingga ke Selatan Afrika, Sudan, Somalia dan sebahagian negara Arab.
- Gerakan ini juga terpengaruh dengan tasauf yang bersih dari syirik dan khurafat seperti bertawassul dengan orang mati dan orang soleh.
- Pengasas gerakan ini adalah Muhammad bin Ali as-Sanusi yang bermazhab Maliki, namun beliau akan menyalahi mazhab berkenaan jika di sana ada kebenaran bersama mazhab lain.
- Dalam berdakwah kepada Allah, gerakan ini menggunakan cara lembut dan berhikmah.
- Mereka menekankan dalam kerja-kerja tangan dan sentiasa berjihad Fi Sabilillah menentang penjajah, Salibi dan sebagainya.

Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berkata, "Hamba-hamba Allah ini telah memberikan kami satu tugas yang amat berat sekali sehingga andaikata ia diletakkan di atas gunung, ia tidak akan sanggup untuk memikulnya."

Yang dimaksudkan oleh beliau ialah menjaga amanah Allah.Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi telah meninggal dunia pada bulan Safar tahun 1276H/1859M di al-Jaghbub, Libya.

Kekhalifahan Thareqat Sanusiyah kemudian sampai kepada Syaikh Ahmad Syarif As-Sanusi yang kemudian di istiklaf-kan kepada Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fattah. Oleh Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fattah nama Thareqat Sanusiyah ini kemudian di kembalikan ke nama Thareqat Al Idrisiyyah. Pada saat ini kekhalifahan Thareqat Sanusiyah (Thareqat Al Idrisiyyah) adalah Asy-Syaikh Al-Akbar Muhammad Daud Dahlan R.A

Kamis, 04 Juni 2009

Hukum Mencium Tanga dan Mencari Berkah


Banyak pertanyaan orang tentang hukum mencium tangan, khususnya belakangan ini. Banyak yang mengikuti hawa nafsu dan berpendapat yang tidak didukung oleh ilmu secara benar. Orang-orang yang meneliti hakikat dan kembali kepada hadis-hadis sahih yang berasal dari Sunnah yang suci, atsar dari para sahabat yang mulia dan perkataan para imam dan ulama’ yang ‘amilin menemukan bahwa mencium tangan para ulama, orang-orang soleh dan kedua orang tua dibolehkan secara syar’i, bahkan hal itu merupakan penampilan adab Islami yang menunjukkan penghargaan kepada orang-orang yang bertakwa.
Nash-nash sahih yang menetapkan hal itu terdapat dalam Sunnah yang mulia, perkataan para sahabat dan lain-lain.
Dari hadis suci di antaranya adalah berasal dari Safwan bin A’sal, katanya :‘Seorang Yahudi berkata kepada kawannya, ‘Marilah kita pergi kepada Nabi itu.’ Lalu mereka datang kepada Rasulullah dan bertanya tentang sembilan ayat bayyinah dan seterusnya dikatakan: ‘... Lalu keduanya mencium tangan dan kaki Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah (Utusan Allah).’ ( Hadis riwayat Imam Ahmad dan At Tirmizi dan di tashih oleh An Nasai dan lain-lain).
Dan diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ummu Aban binti Al Waza’ bin Zara’ dari datuknya, Zara’ dan dia adalah utusan Abdul Qais, katanya: ‘Lalu kami cepat-cepat menuju ke kendaraan kami setelah mencium tangan dan kaki Rasulullah.’ Seperti yang telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqi sebagaimana tercantum di dalam Sirah As Syamiyah.
Di dalamnya: ‘…kemudian datanglah Munzir Al-Asyaj meraih tangan Rasulullah dan menciumnya, dan dia adalah pemimpin para utusan.’
Di dalam Syarah Al-Bukhari bagi Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani dikatakan bahwa Abu Lubabah, Ka’ab bin Malik beserta kedua kawannya mencium tangan Rasulullah ketika mereka bertaubat kepada Allah.
Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunannya beserta sanad bahwa Abdul Rahman bin Abi Laila bercerita bahwa Abdullah bin Umar r.a. menceritakan kisah itu dan berkata: ‘…lalu kami mendekatinya dan lalu kami mencium tangannya.’ (Hadis riwayat At Tirmizi dan Ibnu Majah. Al-Tirmizi berkata hadis tersebut hasan.)
Imam Ahmad mengeluarkan di dalam kitabnya, Thulathiyat : ‘Dari Sufyan bin Uyainah dari Ali bin Zaid bin Jud’an, katanya: ‘Tsabit Al-Banani berkata kepada Anas bin Malik Radiallahu‘anhu dan Ibnu Jud’an mendengar: ‘Hai Anas, apakah engkau menyentuh Rasulullah dengan tanganmu?’ Anas menjawab kepada Tsabit: ‘Benar, aku menyentuh Rasulullah dengan tanganku.’ Tsabit berkata: ‘ Tunjukkan bagaimana aku menciumnya.’
Dan dita’liq oleh Syeikh Muhammad Al-Asfariyani Al-Hambali lalu dikatakan: Berkatalah guru besar Ibnu Muflih di dalam kitab Adabul Kubra: ‘Diperkenankan berpelukan dan mencium tangan serta kepala di dalam agama sebagai penghargaan dan penghormatan dan penampakannya tidak diperkenankan untuk urusan dunia.’
Al-Maruzi berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdullah, yakni Imam Ahmad r.a. tentang mencium tangan, lalu dia menjawab: ‘Kalau dilakukan untuk tujuan agama maka tidak apa-apa. Abu Ubaidah pernah mencium tangan Umar bin Khattab. Kalau untuk tujuan duniawi, janganlah dilakukan, melainkan seseorang takut karena pedang dan cemetinya.’
Tamim bin Salamah, seorang tabi’i, berkata : ‘Ciuman itu sunnah.’
Al-Imam Ibn Taimiyah berkata: ‘Mencium tangan tidak dijadikan sebagai kebiasaan kecuali sedikit.’
Para sahabat mencium tangan Rasulullah dan para ulama’ memberi izin, misalnya Imam Ahmad dan lain-lain, atas dasar agama.
Al-Hasan Al-Basri r.a. berkata: ‘Mencium tangan seseorang yang adil merupakan satu bentuk ketaatan.’
Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: ‘Ciuman kedua orang tua atas anaknya adalah rahmat, ciuman anaknya atas tangan kedua orang tua adalah ibadat, ciuman wanita adalah syahwat, ciuman atas seseorang kepada sahabatnya adalah agama.’ (Lihat Thulathiyat Imam Ahmad).
Ditanyakan kepada Asy-Syeikh Muhammad Abid Al-Anshari: ‘Apakah tertera di dalam hadis bahwa para sahabat mencium tangan Rasulullah yang mulia, atau kepalanya atau kakinya yang suci atau bahagian-bahagian tubuh lainnya yang suci?’
Dia menjawab: ‘Ciuman secara mutlak, baik atas kepala, tangan, mata ataupun anggota tubuh yang lain tidak sepi dari syahwat. Adapun ciuman yang bersyahwat adalah jelas pengharamannya, kecuali ciuman terhadap isteri atau orang yang halal baginya.’
‘Sedangkan ciuman yang menandakan kecintaan atau kasih sayang seperti ciuman orang tua kepada anaknya adalah dibolehkan, misalnya ciuman Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam terhadap perut Al-Hasan, ciuman Abu Bakar As-Siddiq ke pipi ‘Aisyah Ummul Mukminin ketika puterinya sedang sakit panas.’ ( Hadis riwayat Abu Daud).
Berikutnya adalah ciuman yang menunjukkan kasih sayang, di antaranya ciuman Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Jaafar bin Abi Thalib r.a. di antara kedua matanya. ( Hadis riwayat Abu Daud Al Baihaqi di dalam kitab Sya’bil Iman)
Adapun ciuman yang dimaksudkan untuk mengagungkan seseorang tidak dibolehkan kecuali bagi seorang ‘alim, guru, penguasa yang adil, seseorang yang memiliki kehormatan agama, atau penghargaan terhadap Rasulullah s.a.w. Selain dari itu dianggap haram dan tidak ada dalam syariat. Tidak ada nas yang menjelaskannya kecuali apa yang telah disebutkan.
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk mengingkari perbuatan cium tangan adalah salah satu dari yang telah disebutkan karena banyak dalil yang kuat menjelaskan para sahabat mencium tangan dan kaki Rasulullah s.aw.
Di antaranya adalah yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Al-Bukhari dari Zara’ Radiallahu‘anhu, dan dia adalah utusan Abdul Qais. Katanya: ‘Ketika tiba di Madinah, kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu mencium tangan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.’
Dikeluarkan pula oleh Abu Daud di dalam Sunannya dari hadis Abdullah bin Umar Radiallahu‘anhu yang telah menceritakan kisahnya berkata: ‘Lalu kami mendekati Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam dan mencium tangannya.’
Juga dikeluarkan oleh Abu Daud r.a. dari Aisyah Radiallahu‘anha: ‘Sesungguhnya Fatimah Radiallahu‘anha, apabila Rasulullah datang ke rumahnya (Fatimah), beliau menyambut tangannya dan menciumnya.”
Diriwayatkan oleh At-Thabrani dari Ka’ab bin Malik Radiallahu‘anhu bahwasanya sewaktu berdekatan dengan Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam, dia mengambil tangan Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam dan menciumnya.
Dikeluarkan pula oleh At-Tirmizi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dari Safwan : ‘Sesungguhnya orang-orang Yahudi mencium tangan Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam dan kakinya.’ (At-Tirmizi berkata: ‘Hadis ini hasan dan sahih.’)
Dikeluarkan oleh Al-Hakim dan dibenarkan di dalam Mustadrak dari Buraidah: ‘Sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam lalu mencium kepala dan kakinya.’
Sekiranya ada di antara para sahabat yang mencium kaki dan tangan Rasulullah dalam suatu keadaan, maka ini merupakan dalil yang kuat tentang dibolehkan mencium tangan orang alim, penguasa yang adil, orang terhormat dan mencium kakinya juga. Sebab hal itu terjadi pada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, yang di dalam dirinya terkumpul semua kebajikan yang murni, manaqib yang terpuji dari ilmu ladunni dan paling tinggi kedudukannya dalam amanah dan kemuliaan nasabnya. Tidak ada yang menyamainya dalam salah satu perbuatan dan tanda-tandanya yang khusus.
Kita menilai dari masing-masing tanda khusus itu tentang diperkenankan mencium tangan seseorang yang diagungkan oleh Allah dengan salah satu dari tiga tanda khusus, misalnya secara umum dengan firman Allah s.w.t. :‘Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik.’ ( Al-Ahzab : 21 )
Dan firman Allah secara umum :‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi kamu.’ ( Ali Imran : 31)
Dan firman Allah secara umum: 'Dan apa jua perintah yang di bawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu, maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarangnya kamu melakukannya maka patuhilah larangannya.’ ( Al-Hasyr :7 )
Di dalam hadis berikut tidak dikatakan bahwa cium tangan itu dikhususkan bagi Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.
At-Tirmizi mengeluarkan dengan sanad hasan dari Anas bin Malik Radiallahu‘anhu, katanya: “Telah datang seseorang kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, jika seseorang bertemu dengan kawannya atau saudaranya, adakah dia harus membungkuk kepadanya?’
Baginda menjawab: ‘Tidak.’ Tanyanya lagi: ‘Bolehkah memeluk dan menciumnya?’ Baginda menjawab: ‘Tidak.’ Tanyanya lagi: ‘Bolehkah memegang tangannya untuk bersalaman?’ Baginda menjawab: ‘Ya.’
Saya ingin mengatakan bahwa hadis ini boleh digunakan untuk orang yang tidak ‘alim dan orang-orang yang tidak boleh kita cium tangannya sebagaimana yang telah dijelaskan. Saya mengatakan hal itu karena ada ketetapan dalam hal itu yaitu Zaid bin Haritsah ketika datang ke Madinah dipeluk oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian dia mencium tangan Baginda. (Hadis riwayat At- Tirmizi).
Ada pula penjelasan tentang Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam yang mencium pipi Abu Bakar As- Siddiq Radiallahu‘anhu setelah memeluknya ketika dia datang. Saat itu Ali berdiri menyertai Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, maka Ali Radiallahu‘anhu bertanya: ‘Anda mencium bibir Abu Bakar?’ Baginda menjawab: ‘ Wahai Abul Hasan, kedudukan Abu Bakar di sisiku adalah seperti kedudukanku disisi ayahku.’
Berita tersebut menjelaskan bahwa ciuman Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya merupakan pengecualian. Dan perkara tersebut berasal dari Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, bukan hanya cerita-cerita di antara kita.
Maka boleh dikatakan bahwa tindakan para sahabat yang mencium tangan dan kaki Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam itu merupakan satu pengecualian, begitulah juga pelukan dan ciuman Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatsahabatnya.
Maka dari mana datangnya dalil bahwa mencium orang ‘alim dan berkedudukan itu diperintahkan atau diperbolehkan? Hal itu tidak difahami dan tidak berlaku kecuali berdasarkan kepada hadis-hadis yang menunjukkan bahwa para sahabat melakukan perbuatan itu di antara mereka dan tidak ada yang mencela hal tersebut.
Pendapat lain adalah bahwa pengecualian itu tidak menutup ihtimal. Apa yang dilakukan oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam boleh dianggap sebagai pengecualian selama tidak ada ketetapan tentang dalil yang mensyariatkannya.
Ini merupakan khilafiyah dalam memandang firman dan kalam Allah, serta khilafiyah dari sudut pandangan ulama muhaqqiqun dari ulama ahli ‘aql dan nuqul.
Bahwa sesungguhnya golongan yang melarang ciuman hanya berlandaskan kepada pemikiran bahwa hal itu merupakan bentuk pengagungan kepada selain Allah, sedangkan pengagungan kepada selain Allah adalah haram.
Seandainya hal itu benar, maka Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama untuk disucikan dari larangan itu. Sebab disamping itu ada dalil-dalil yang jelas bahwa para sahabat melakukannya di antara mereka tanpa ada yang mencela dan mengingkarinya.
Ini termasuk yang dikeluarkan oleh At-Thabrani dari Yahya bin Al-Haris yang berkata: ‘Aku bertemu Watsilah bin Al Asqa’ lalu bertanya: ‘Apakah engkau berbai’at kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dengan tanganmu?’ Dia menjawab: ‘Ya.’ Aku mengatakan: ‘Ulurkanlah tanganmu, aku akan menciumnya.’ Itulah yang kulakukan.’
Al-Haitsami berkata bahwa orang yang mendukung hadis tersebut dipercayai.
At-Thabari menukil di dalam kitabnya, Ar Riyadhun Nadhirah, dari Abi Raja’ Al-Atharidi, dia berkata: ‘Aku masuk ke Madinah dan melihat orang-orang sedang berkumpul. Ku lihat seseorang datang lalu mencium kepala seorang yang lain seraya berkata: ‘Aku berkorban untukmu. Kalau tidak karena engkau, maka aku akan binasa.’ Maka aku bertanya : ‘Siapakah yang mencium dan siapakah yang dicium itu?’ Dijawab : ‘Itu adalah Umar Radiallahu‘anhu yang mencium Abu Bakar As Siddiq Radiallahu‘anhu yang memerangi Ahli Riddah yang menolak membayar zakat, sampai mereka datang dengan penuh kepasrahan dan tunduk.’
Al-Hafiz menukil di dalam kitab Al-Ishabah dari Asy-Sya’bi, katanya: ‘Aku meninggalkan Zaid bin Thabit ketika Ibn Abbas memegang pemacu kudanya. Maka Zaid bin Tsabit berkata :‘Jangan engkau lakukan hal itu, wahai putera bapa saudara Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia menjawab: ‘Beginilah kita diperintahkan untuk berbuat kepada ulama-ulama kita.’ Maka Zaid menerima, lalu mencium tangan Ibn Abbas dan berkata pula: ‘Beginilah kita diperintahkan untuk berbuat kepada keluarga Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.’
Hadis-hadis tersebut menjelaskan bahwa para sahabat tidak mengingkari ciuman. Lebih dari itu kata-kata Zaid bin Tsabit: ‘Beginilah kita diperintahkan…’ sampai habis menunjukkan bahwa mencium tangan orang yang memiliki kehormatan diperintahkan oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam sebab kata-kata sahabat: ‘Beginilah kita diperintahkan’ memiliki hukum meninggikan apabila dilakukan terhadap selain Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam.
Para ulama termasuk dalam kategori orang yang boleh dicium tangannya tanpa ada kesombongan satu atas yang lain, dan tidak ada perselisihan dalam hal ini.
Diriwayatkan bahwa Sufyan berkata: ‘Mencium tangan para ulama dan penguasa yang adil adalah sunnah.’ Maka Abdullah bin Mubarak bangkit dan mencium kepala Sufyan seraya berkata: ‘Siapa yang lebih baik dari ini selain engkau.’
Adapun kisah Muslim bin Al-Hajjaj yang mencium Al-Bukhari di antara kedua matanya dan ingin pula mencium kakinya. Berita tentang hal ini masyhur.
Di antara yang menyetujui ciuman bagi seorang ‘alim adalah apa yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari tentang Abu Bakar As-Siddiq Radiallahu‘anhu yang mencium Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam, setelah wafatnya, serta Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam yang mencium Utsman bin Mazh’un setelah meninggalnya.
Para imam, mengambil hikmah dari perbuatan itu untuk membolehkan mencium mayat.
Maka kalau mencium mayat dibolehkan, bagaimana sangkaan orang yang menentang ciuman orang ‘alim yang masih hidup, yang ajarannya bagi manusia tentang soal agama kita manfaatkan, sedangkan kita juga tidak mencium kecuali untuk mengagungkan ilmunya yang suci?
Kita kembali kepada hadis-hadis suci yang sahih dan atsar yang mantap untuk mengambil dalil tentang dibolehkan mencium. Soal ini tertera didalamnya dan tidak diragukan cahaya kebenarannya.
Al-Bukhari mengeluarkan di dalam kitab Adabul Mufrad tentang riwayat Abdul Rahman bin Razin, katanya: ‘Salamah bin Al-Akwa mengeluarkan tangannya yang besar seperti telapak tangan unta. Maka kami bangkit dan menciumnya.’ (Dikeluarkan oleh Ibn Hajar Al-Asqalani di dalam kitab Fathul Bari).
Dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya dengan sanad dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radiallahu‘anha, bahwa ia berkata: ‘Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling mirip dengan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dalam diamnya, tunduknya dan hidayahnya kecuali Fatimah Radiallahu‘anha. Apabila dia masuk, maka Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menyambutnya, memegang tangannya dan menciumnya, lalu mendudukkannya di tempat duduk. Dan kalau Baginda masuk, maka Fatimah Radiallahu‘anha akan menyambutnya, memegang tangannya dan menciumnya, lalu mendudukkannya di tempat duduk.’
(Berkatalah penulis Aunul Ma’bud bahwa maksudnya adalah mencium anggota tubuhnya yang suci dan bersih yaitu tangan yang paling mulia).
At-Tirmizi mengeluarkan dari Aisyah Radiallahu‘anha, katanya: ‘Zaid bin Harithah datang ke Madinah ketika Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumahku. Maka Baginda menyambutnya sewaktu dia mengetuk pintu.Baginda berlari dengan menyinsingkan bajunya, kemudian memeluk dan menciumnya.’ (At-Tirmizi berkata bahwa hadis ini hasan)
Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunannya dengan sanad dari Al-Barra bin Azib Radiallahu‘anhu, katanya: ‘Aku bersama Abu Bakar As-Siddiq Radiallahu‘anhu adalah orang pertama yang masuk Madinah. ‘Aisyah Radiallahu‘anha, puterinya, sedang berbaring karena sakit panas. Maka Abu Bakar As-Siddiq
Radiallahu‘anhu menghampirinya dan bertanya: ‘Bagaimana keadaanmu, wahai puteriku?’ seraya mencium pipinya.’
Ali Mala Al-Qary menta’liq hadis ini dan berkata: ‘Mencium pipi adalah untuk marhamah dan mawaddah atau pemeliharaan atas Sunnah.’
Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunannya dengan sanad dari Abu Hurairah Radiallahu‘anhu yang berkata: ‘Sesungguhnya Al-Aqra bin Habis melihat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam mencium Hussein, lalu berkata:‘Aku memiliki sepuluh orang anak, tetapi aku tidak pernah melakukannya (ciuman) atas satupun dari mereka.’ Maka Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Barangsiapa tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.’ (Hadis riwayat Al Bukhari, Muslim dan At Tirmizi)
Al-Bukhari dan Muslim dan Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunan mereka dengan sanad dari ‘Urwah dari ‘Aisyah Radiallahu‘anha, katanya: Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Ada berita gembira bagimu, wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah telah menurunkan firmanNya tentang kesucianmu.’ Kemudian Baginda membaca ayat Al-Quran Al-Karim tentang persoalan Aisyah Radiallahu‘anha.’ Ayah bondaku berkata : ‘Bangunlah wahai Aisyah dan ciumlah kepala Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. ‘Maka aku berkata : ‘Aku bertahmid kepada Allah bukan kepada kamu.’ (Hadis riwayat Al Bukhari, Muslim dan Abu Daud)
Seandainya keduanya menolak ciuman, tentunya Abu Bakar As-Siddiq Radiallahu‘anhu tidak akan menyuruh Aisyah Radiallahu‘anha untuk mencium kepala Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. Sementara itu, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga berdiam diri mendengar kata-kata Abu
Bakar As-Siddiq Radiallahu‘anhu. Diamnya Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pengakuan dan ketetapan dan ia termasuk Sunnah yang suci.
Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunannya dengan sanad dari Abdul Rahman bin Abi Laila dari ‘Usaid bin Hudhair Radiallahu‘anhu, bahwa dia sedang berbincang dan bergurau di antara mereka ketika Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam menyodok perutnya dengan sesuatu. Maka dia berkata: ‘Aku akan menuntut balas.’ Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Kalau engkau hendak membalasku, lakukan saja.’
Dia berkata : ‘Tetapi engkau berpakaian sedangkan aku tidak berpakaian.’ Maka Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam membuka pakaiannya, kemudian ‘Usaid memeluk dan menciumnya (antara perut dengan tulang rusuk bahagian bawah). Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam kehairanan. ‘Usaid lalu berkata : ‘Yang ku inginkan adalah hal ini, wahai Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam .’
Dari Jamilah, ibu dari putera Anas bin Malik, katanya: ‘Sesungguhnya apabila Thabit mengunjungi Anas, maka Anas berkata : ‘Hai Jariyah, bawakan kemari minyak wangi untuk menggosok tanganku, sebab kalau Thabit datang kemari, dia tidak mahu mencium tanganku.’ (Hadis riwayat Abu Ya’la dan orang-orangnya dapat diandalkan).
Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunannya dengan sanad dari Ummu Aban binti Al Waza’ bin Zara’ dari datuk Zara’, utusan Abdul Qais berkata: ‘Ketika datang ke Madinah, kami bergegas turun dari kendaraan kami untuk mencium tangan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dan kakinya.’ Al-Asyja Munzir menanti sampai Uyainah datang dan memakai bajunya, lalu datang kepada Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam. Baginda berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua hal yang disukai Allah dan RasulNya, yaitu kebijaksanaan dan ketenangan.’ Dia menjawab: ‘Wahai Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, aku memiliki dua sifat itu ataukah Allah yang menjadikanku memiliki kedua sifat itu?’ Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : ‘Benar, Allah menjadikanmu memiliki kedua sifat itu.’ Dia menjawab: ‘Segala puji bagi Allah yang menciptakanku dengan dua sifat yang disenangi oleh Allah dan RasulNya.’ (Dikeluarkan oleh Abu Qasim Al-Baghawi di dalam kitabnya, Majma’ Ash-Shahabah dan Aunul Ma’bud)
Sebabnya adalah sebagaimana disebutkan oleh penulis Syarah Al-Misykah: ‘Dia sebagaimana Abdul Qais bergegas turun dari kendaraan hingga terjatuh ke tanah, lalu melakukan apa yang dilakukan dan diakui oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang menjadi pemimpin mereka bernama Al-Asyja. Dia terlebih dulu pulang ke kediamannya, lalu mandi dan mengenakan pakaian putih. Selanjutnya dia masuk ke masjid, solat dua rakaat dan berdoa dengan singkat, barulah berjumpa Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam dengan sikap tunduk, tekun dan lemah lembut. Melihat sikapnya, Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam memuji adabnya: ‘Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua hal yang disukai Allah, yaitu kebijaksanaan dan ketenangan.’
Maksudnya, dia tidak terburu-buru dan halus sikapnya, sehingga terlihat kebaikan dan keteguhannya. Kemudian penulis Aunul Ma’bud menta’liq di dalam hadis tentang dibolehkan mencium kaki.
Al-Hafizh Abu Bakar Al-Ashbahani Al-Mukri menyusun rukhsah-rukhsah dalam mencium tangan. Hal itu disebutkan di dalam hadis Ibn Umar, Ibn Abbas, Jabir bin Abdullah, Buraidah bin Al-Hashib, Safwan bin Asal, Buraidah Al-Abdi, Al Zara’ bin Amir Al-Abdi.
Disebutkan di dalamnya atsar-atsar yang shahih dari sahabat dan tabi’in. Dan disebutkan sebahagian bahwa Imam Malik tidak menyukai hal itu, sedangkan yang lain-lain menyetujuinya.
Dikatakan kepada Al-Abhari: ‘Sebenarnya yang dibenci oleh Imam Malik adalah kalau hal itu dilakukan dengan dasar untuk membesarkan dan mengagungkan. Maka apabila seseorang mencium tangan, wajah atau bahagian tubuh orang lain yang bukan aurat sebagai taqarrub kepada Allah karena agama, ilmu atau kehormatannya, maka hal semacam itu dibolehkan.Mencium tangan Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam juga boleh dianggap taqarrub kepada Allah. Apabila yang dilakukan termasuk penghormatan secara duniawi atau kekuasaan atau syubhat dari kesombongan maka tidak dibolehkan.’
Di antara riwayat yang menyenangkan hati adalah yang terjadi sebagaimana dikeluarkan oleh Al-Baihaqi di dalam Asy-Sya’bi dan Ibnu Asakir dari Abi Rafi’, katanya: ‘Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu memimpin pasukan menuju Rumawi. Di dalam pasukan tersebut ada seorang yang bernama Abdullah bin Huzaifah dari sahabat-sahabat Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang Rumawi berhasil menawannya, lalu dibawa menghadap Kaisar mereka. Kepada si Kaisar dikatakan: ‘Ini adalah salah satu sahabat Muhammad.’ Maka Kaisar berkata: ‘Maukah engkau memeluk agama Nasrani lalu kujadikan sebagai pemimpin di dalam wilayah kekuasaan dan kerajaanku?’
Dia menjawab: ‘Andaikata engkau memberikan seluruh milikmu dan semua yang memiliki bangsa Arab dengan tujuan agar aku keluar dari agama Muhammad, maka sedikit pun tidak akan kulakukan.’
Kata Kaisar: ‘Kalau begitu aku akan membunuhmu.’ Dia menjawab: ‘Silakan saja.’ Kemudian dia diperintahkan untuk disalib, lalu dikatakan kepada orang-orang yang lalu di situ supaya dia dilontari pada dekat tangan dan kakinya. Di samping itu Kaisar terus menawarkan agama Nasrani, tetapi Abdullah menolak. Dia kemudian diturunkan dan dihadapannya diletakkan kuali yang berisi air mendidih. Selanjutnya Kaisar minta dua tawanan Muslimin dan salah satunya diperintahkan untuk dilemparkan ke dalam kuali yang mendidih itu. Sementara si Kaisar terus menawarkan agama Nasrani, namun Abdullah tetap menolak. Akhirnya si Kaisar memerintahkan agar dia dimasukkan ke dalam bekas itu. Dia diseret mendekati kuali itu, Abdullah menangis sehingga si Kaisar merasakan bahwa dia takut. Katanya kemudian: ‘Bawa dia kembali ke mari.’ Lalu kepadanya ditawarkan kembali agama Nasrani, tetapi dia tetap menolak. Kaisar bertanya: ‘Lalu mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab: ‘Aku berkata kepada diriku sendiri, sekarang engkau akan dimasukkan ke dalam kuali dan binasa, padahal aku ingin agar setiap bulu di tubuhku berubah menjadi jiwa-jiwa yang dimasukkan ke dalam kuali di jalan Allah dan karena Allah.’ Maka si Kaisar berkata: ‘Maukah engkau mencium kepalaku, lalu engkau aku bebaskan bersama seluruh tawanan Muslimin?’ Dia menjawab: ‘Baik, bersama seluruh tawanan Muslimin.’ Dia berkata kepada dirinya sendiri: ‘Seorang musuh Allah harus kucium kepalanya untuk membebaskan tawanan Muslimin? Aku tidak peduli.’ Lalu dia mendekati dan mencium kepala si Kaisar. Selanjutnya seluruh tawanan diserahkan kepadanya lalu Abdullah membawa kembali kepada Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu. Setelah dia menceritakan kejadiannya, Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu berkata: ‘Hak bagi setiap Muslim untuk mencium kepala Abdullah bin Huzafah.’ Lalu Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu maju dan mencium kepalanya. (Dari kitab Kunzul Amal dan dicatat oleh Al-Hafizh di dalam terjemahan Al Ishabah dan disebutkan bahwa Al-Baihaqi mengeluarkan dari jalan Dhirar bin Amru dari Rafi’ dan dikeluarkan oleh Ibnu Asakir dengan kesaksian dari hadis Ibnu Abbas).
Berkatalah Ibnu Katsir dalam Tarikhnya di dalam kitab Fathu Baitul Maqdis: ‘Begitu Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu sampai di Syam, dia disambut oleh Abu Ubaidah beserta tokoh-tokoh pemimpin seperti Khalid bin Walid dan Yazid bin Abi Sufyan. Abu Ubaidah turun dari kendaraannya sementara Umar juga turun. Kemudian Abu Ubaidah terlihat hendak mencium tangan Umar sedangkan Umar hendak mencium kaki Abu Ubaidah. Akhirnya Abu Ubaidah menahan diri dan Umar pun menahan diri.’ (Dari kitab Al Bidayah Wan Nihayah)
Al-Hafizh Ibn Jauzy berkata di Manaqib Ashabul Hadis: ‘Seharusnya setiap murid merendahkan dirinya kepada orang alim. Dia harus tunduk dan merendahkan diri dengan mencium tangannya sebagaimana Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin Iyadh. Yang seorang mencium tangan Al-Husain bin Ali Al Ja’fi, sementara seorang lagi mencium kakinya.’ (Lihat Syarah Manzhumatul Adab)
Abu Ma’la di Syarah Al Hidayah berkata: ‘Apabila mencium tangan orang alim dan orang dermawan itu dilakukan untuk menyambutnya, maka hal itu dibolehkan. Namun apabila menciumnya adalah karena kekayaan seorang yang kaya, maka telah diriwayatkan: ‘Maka dia telah melenyapkan sepertiga agamanya.’
Anda sudah tahu bahwa para sahabat mencium tangan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam seperti di dalam hadis Ibn Umar sewaktu terjadinya perang Mu’tah.
Adapun pandangan Imam yang empat di dalam hukum mencium adalah seperti berikut:
Pertama (Ulama Al-Hanafiah), Berkatalah Ibnu Abidin dalam komentarnya tentang kata-kata penulis Ad-Dur yang terpilih: ‘Tidak mengapa mencium tangan seorang alim dan yang sederhana dengan dasar untuk mencari berkah. Dikatakan bahwa hal itu sunnah dan telah diketahui tarikan hadis-hadis tentang sunnahnya atau adabnya sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Aini.’
Di dalam komentar Ath-Thahawi atas kitab Maraqil Falah dikatakan: ‘Telah sangat jelas keterangan bahwa diciumnya tangan orang alim atau penguasa yang adil dibolehkan.’
Dan tertera di dalam hadis yang disebutkan oleh Al-Badrul Aini: ‘…kemudian dikatakan: Dari majmu’ yang kita sebut, mencium tangan dibolehkan.’
Kedua (Ulama Al-Malikiah), Berkatalah Imam Malik Radiallahu‘anhu: ‘Mencium tangan seseorang untuk mengagungkan atau memuliakan adalah makruh. Sedangkan kalau berdasarkan keinginan untuk bertaqarrub kepada Allah karena agamanya atau karena ilmunya dan syariatnya, maka diperbolehkan.’ (Fathul Bari karangan Ibn Hajar Al-Asqalani)
Ketiga (Ulama Asy-Syafi’iyah), Imam An-Nawawi berkata: ‘Mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, kehormatannya atau semacamnya dari masalah agama tidak dibenci, melainkan disenangi. Tetapi kalau mencium tangan seseorang karena kekayaannya, kedudukannya, kekuasaannya atau semacamnya dari masalah duniawi maka itu sangat dibenci.’ (Lihat kitab Fathul Bari)
Keempat (Ulama Hanabilah), Di dalam kitab Ghaza ul Al Albab Syarah Manzhumatul Adab, Al-Asfariyani Al-Hanbali berkata: ‘Al-Maruzi berkata : ‘Aku bertanya tentang hal itu kepada Abu Abdullah(Imam Ahmad bin Hanbal), dia berkata: ‘Kalau hal itu dilakukan atas dasar agama, maka tidak menjadi soal, seperti Abu Ubaidah Radiallahu‘anhu yang mencium tangan Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu. Kalau dilakukan berdasarkan pertimbangan duniawi, maka tidak boleh.’
Maka ditetapkan hukum bahwa ciuman tangan dibolehkan bagi ulama’ dan orang-orang yang soleh dan yang berilmu maupun kedua orang tua. Itu termasuk adab Islami yang dianjurkan. Di dalam kitab fiqh berbagai mazhab menjadi nash dibolehkan mencium tangan mereka itu.
Dinukil oleh ulama fiqh Asy-Syarbini: ‘Disunnahkan bagi seseorang untuk berdiri menyambut ulama dan orang yang utama dalam kebaikan dan kehormatan atau semacam itu, tanpa diikuti riya’ dan pengagungan. Dikatakan di dalam kitab Al-Raudhah: ‘Telah ditetapkan di dalamnya hadis-hadis sahih.’
Imam An-Nawawi memiliki risalah khusus yang berjudul Risalatul Tarkhish Bil Qiyam li Zil Fadhli, yang membolehkan seseorang berdiri untuk menyambut orang yang datang. Dalil tentang hal itu adalah hadis-hadis seperti :
Dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya: ‘Bahwa sesungguhnya Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam duduk-duduk pada suatu hari, kemudian datanglah ayah susuannya. Maka Baginda menghamparkan sebahagian pakaiannya untuk diduduki. Lalu datang pula ibu susuannya, maka dihamparkannya sebahagian pakaian di sisi yang lain. Lalu datang saudara susunya, maka Baginda bangkit untuk menyambut dan mendudukkannya di sampingnya.’
Imam Malik mengeluarkan kisah Ikrimah bin Abi Jahal ketika melarikan diri ke Yaman pada hari Fathu Makkah. Isterinya menyusulnya dan mengajaknya kembali ke Mekah sebagai Muslim. Kedatangannya dilihat oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia disambut dengan gembira dan Baginda memberikan jubahnya kepada Ikrimah.
Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bangkit untuk menyambut Ja’far Radiallahu‘anhu tatkala datang dari Habsyah seraya berkata: ‘Aku tidak tahu apa yang membuatku gembira, kedatangan Ja’far atau kemenangan ke atas Khaibar.’
Di dalam hadis Aisyah Radiallahu‘anha dikhabarkan: ‘Telah datang Zaid bin Haritsah di Madinah, sementara Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumahku. Ketika dia mengetuk pintu, Baginda bangkit dan menyambutnya dengan memeluk dan menciumnya.’
Abu Daud mengeluarkan dari Abu Hurairah Radiallahu‘anhu, katanya: ‘Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam sedang bercerita, kemudian beliau berdiri. Maka kami pun bangkit sampai melihat Baginda benar-benar masuk ke rumahnya.’ (Nash-nash ini merupakan misalan mazhab Syafi’iyah dalam hal berdiri)
Ulama fiqh yang teliti, Ibn Abidin, mengutip ketika penulis Ad-Dur berkata: ‘Boleh berdiri sebagai penghormatan terhadap orang yang datang, sebagaimana boleh berdiri walaupun bagi orang yang sedang membaca di dalam majlis ilmu, di hadapan para ulama. Dikatakan di dalam kitab Al-Qaniyah: ‘Orang yang duduk di masjid boleh berdiri untuk menghormati orang yang memasuki masjid dan orang yang membaca Al-Quran pun boleh berdiri untuk menghormati orang yang datang. Semua itu tidak dibenci kalau sekadar sebagai penghargaan yang layak.’
Di dalam Musykilul Atsar tertulis: ‘Pada dasarnya, berdiri untuk orang lain tidaklah dibenci .Yang dibenci adalah keinginan seseorang agar orang berdiri baginya dan sesungguhnya orang yang berdiri bagi orang yang tidak berdiri baginya dibenci.’
Berkatalah Ibnu Wahban: ‘Aku berkata bahwa pada zaman ini kita harus mengetahui hal itu. Artinya, berdiri itu dapat menghapuskan dengki, benci dan permusuhan, apalagi kalau berlangsung pada kesempatan-kesempatan di mana orang biasa berdiri. Apa yang terpapar tentang kebiasaan orang yang suka berdiri dengan berpegangan tangan ialah, sebagaimana yang dilakukan oleh golongan Turki dan ‘Ajam.’
Berkatalah Abu Sulaiman Al-Khatabi Asy-Syafi’i untuk menerangkan hadis: Abu Daud meriwayatkan dari Abu Said Khudri Radiallahu‘anhu: ‘Sesungguhnya ketika Bani Quraizah menyatakan tunduk kepada hukum Saad, Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam mengutus (Saad) kepada mereka. Dia datang, Baginda bersabda: ‘Berdirilah, sambutlah pemimpin (sayyid) kamu atau orang yang terbaik dari kamu.’ Lalu dia datang dan duduk di sisi Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam.’
Al-Khatabi berkata: ‘Diketahui bahwa panggilan seseorang kepada kawannya : ‘Ya sayyidi’ tidak dilarang asalkan kawannya seorang yang baik dan terhormat. Namun hal itu dibenci apabila dilakukan kepada orang fajir.’
Termasuk di dalamnya berdirinya orang bawahan untuk menyambut orang atasannya yang terhormat dan wali yang adil dan berdirinya pelajar untuk menyambut gurunya adalah dipuji dan tidak dibenci. Yang dibenci adalah orang-orang yang memiliki sifat sebaliknya.
Al-Khatabi berkata pula di dalam syarah hadis Abu Daud yang diriwayatkan oleh Muawiyah, katanya : ‘Aku mendengar Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barangsiapa suka membuat orang-orang berdiri baginya, hendaknya dia menyiapkan dirinya di dalam api neraka.’
‘Sabda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam “membuat” maksudnya orang-orang berdiri menghadap kepadanya dan bertujuan untuk menyuruh mereka melakukan hal itu bahkan mengharuskan mereka, berdasarkan kesombongan dan kebongkakan.’
Di dalam Musnad Imam Ahmad dikatakan: ‘Berdirilah bagi pemimpin kamu dan sambutlah dia.’
Tetapi pada akhir beritanya, dia membela masalah berdiri ini dengan mengajukan dalil : ‘Ada pemuda-pemuda dari Bani Abdul Asyhal yang berkata : ‘Kami berdiri di atas kaki kami dengan membentuk dua barisan, sehingga setiap orang dari kami selesai memberi hormat kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.’
Selanjutnya mari kita akhiri perbahasan ini dengan hadis tentang Hajar Aswad karena sesuai dengan topik ini, juga menjelaskan tentang dibolehkan menciumnya.
Dari Abu Said, katanya: ‘Aku berhaji bersama Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu. Ketika memulai tawaf, dia menghadap Hajar Aswad dan berkata: ‘Aku tahu engkau ini batu hitam yang tidak memberikan mudharat atau manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.’ Lalu dia menciumnya.’
Kemudian Ali berkata: ‘Tetapi, wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya batu itu memberi mudharat dan manfaat.’ Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu bertanya: ‘Dengan apa?’ Ali menjawab: ‘Dengan Kitabullah.’
Sesungguhnya Allah s.w.t. berfirman: ‘Dan (ingatlah wahai Muhammad) ketika Tuhanmu mengeluarkan dzuriat anak-anak Adam (turun-temurun) dari (tulang) belakang mereka, dan Dia jadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri, (sambil Dia bertanya dengan firmanNya): ‘Bukankah Aku Tuhan kamu?” Mereka semua menjawab: ‘Benar (Engkaulah Tuhan kami)’ (Al-A’raf:172)
Allah menciptakan Adam lalu mengusap punggungnya dan menetapkan kepada mereka bahwa Dia adalah Tuhan mereka, sedangkan mereka adalah hamba-hambaNya. Dia mengambil janji dan sumpah serta menuliskan hal itu di amad. Maka dengan ini, batu tersebut mempunyai mata dan lisan. Dikatakan kepadanya: ‘Bukalah.’ Dikatakan: ‘Lalu dia membuka dan menelan amad itu.’ Kemudian berkata: ‘Aku bersaksi bahwa orang yang memenuhimu akan kupenuhi pada hari kiamat.’
Dan aku bersaksi aku mendengar Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Hajar aswad akan didatangkan pada hari kiamat dengan memiliki lisan yang jelas dan bersaksi bagi orang yang mendatanginya dengan tauhid.’ Itulah, wahai Amirul Mukminin, mudarat dan manfaatnya.’ Kata Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu: ‘Aku berlindung kepada Allah supaya tidak hidup di antara orang-orang yang anda tidak berada di dalamnya, wahai Abal Hasan.’ (Hadis riwayat Al Hakim di dalam kitab Al Mustadrak dan diakui oleh Al-Hafizh Az-Zahabi di dalam kitab At-Talkhis)

PETIKAN-PETIKAN UCAPAN SYEKH ABDUL AZIZ AD-DABBAGH RA.

DALAM KITAB 'UQUDUL ALMAS BIMANAQIBIL IMAM AL-'ARIF BILLAH AL-HABIB AHMAD BIN HASAN AL-'ATH-THAS, KARYA HABIB ALWI BIN THAHIR AL-HADDAD RHM

Tokoh 'Arif, Syekh Ahmad bin al-Mubarak al-Fasi di dalam manaqib gurunya Syarif Quthub al-'Arifin Abdul Aziz bin Mas'ud ad-Dabbagh al-Idrisi al-Hasani al-Fasi mengungkapkan bahwa ia mendengar Beliau Rahimahullah berkata:"Orang-orang yang sudah mencapai tingkat karamah para Wali Ra., meski mereka bermanfaat bagi umat manusia pada segi pemahaman tentang Kewalian, tetapi dapat banyak bermadharat bagi mereka lantaran mereka tidak menjelaskan sebatas hal-hal karamah. Mereka sedikitpun tidak menjelaskan mengenai kiat-kiat yang dilakukan para Wali sehingga mereka mendapatkan karamah-karamah tersebut. Bahkan orang yang memikirkan ucapan mereka, meski sudah melihat karamah demi karamah, keanehan demi keanehan, dan kasyaf demi kasyaf, masih juga beranggapan bahwa seorang Wali tidak mampu membuktikan hal-hal yang diajukan kepadanya. Dan tidak ada yang bersifat ajaib walau sudah jelas. Lalu ia pun terjerumus dalam kebodohan yang mendalam. Sebab, ia beranggapan bahwa seorang Wali memiliki sifat-sifat ketuhanan. Dan bahwa ia dapat melakukan sekehendaknya, tidak mempunyai kelemahan. Dan memiliki sifat-sifat Nubuwwah, yaitu terbimbing dari kesalahan".

"Kebaikan yang terlihat pada tangan seorang Wali itu berasal dari berkah Rasulullah Saw, sebab iman yang merupakan penyebab munculnya kebaikan itu hanya dapat dicapai melalui perantaraan Nabi Saw. Berkaitan dengan Zat Wali, maka sama dengan seluruh zat-zat lain. Berbeda dengan para Nabi, karena mereka telah dikaruniai 'ishmah. Mereka makan dan memperkuat diri melalui makrifat Allah Ta'ala. Dalam cara yang mereka tidak membutuhkan cara lain untuk diikuti, tidak membutuhkan guru untuk diteladani. Kebenaran telah bersemayam di dalam zat mereka. Ia merupakan huruf-huruf Nubuwwat yang telah tercetak, membimbing mereka ke metode yang kokoh dan jalan yang lurus".

************

"Sekiranya umat manusia yang menyusun kitab-kitab tentang karamah, mereka bersedia menjelaskan keadaan Wali dalam karangannya, lalu menjelaskan hal-hal yang terjadi padanya sesudah memperoleh karamah, berkaitan dengan peningkatan amal sholeh mereka dan juga hal-hal yang bersifat Fana', niscaya umat manusia akan memahami kondisi Wali sesungguhnya. Mereka akan mengerti, bahwa ketika seorang Wali berdo'a adakalanya dikabulkan dan adakalanya tidak. Sebagaimana terjadi demikian pada kalangan para Nabi dan Rasul mulia, semoga terlimpah bagi mereka sholawat serta salam".Ditambahkan pula bahwa seorang Wali adakalanya meningkatkan kebaktian melalui anggota tubuhnya dan adakalanya sebaliknya, seperti orang lain. Yang membedakan status Wali hanya satu hal saja, yaitu bahwa Allah Ta'ala mengaruniakan keistimewaan kepadanya dalam bentuk makrifat, dan melimpahinya dengan berbagai pembaukaan (futuhat). Dalam pada itu, kalaupun terlihat fenomena sebaliknya, maka itu hanyalah sebatas pengamatan kita, bukan secara hakiki.

Sebab penyaksian yang diperolehnya tidak selaras dengan sikap yang berlawanan. Perbuatan maksiat akan dapat menghalangi sedemikian rupa sehingga tidak dapat dicapai kondisi 'ishmah, sehingga dengan itu pula Kewalian setara dengan Nubuwwah. Sebab terhalang dari perbuatan maksiat adalah sifat zat para Nabi, tetapi bersifat nisbi pada para Wali. Artinya masih mungkin akan sirna pada para Wali, tetapi tidak mungkin sirna pada kalangan para Nabi. Sedang rahasianya adalah seperti yang sudah kami jelaskan. Artinya, bahwa sisi baik para Nabi bersumber dari zatnya sendiri, sedang sisi baik para Wali buka dari zat mereka. Jadi 'ishmah para Nabi bersifat esensial, sedang 'ishmah para Wali bersifat kenisbian (relatif).Oleh karena itu, seorang 'Arif yang sempurna apabila terjadi pada dirinya seseuatu yang bersifat ganjil, maka itu bukanlah bentuk hakiki. Itu ditujukan sebagai suatu ujian bagi orang yang menyaksikannya dan bahan suatu ujian, cobaan batin.

Kami memohon kepada Alah Ta'ala, kiranya Dia berkenan membimbing kami agar mempercayai para Wali-Nya sebagaimana Dia telah membimbing kita percaya kepada para Nabi-Nya As.

************

Orang yang memahami sejarah Nabi Saw menyangkut makan minum Beliau, tidur dan bangunnya, dan juga segenap sikap Beliau di dalam rumahnya, niscaya juga akan memahami sejarah peperangan dan pertempuran Beliau. Betapa sesekali Beliau mengalami kemenangan dan sesekali kalah. Betapa Beliau dituntut oleh sejumlah sahabat-sahabat Beliau, lalu mereka pergi tidak mematuhi Beliau. Sebagaimana terjadi pada peperangan 'Ar-Raji' dan 'Bi'r Ma'unah'. Itupun akan mengerti apa yang terjadi pada masa perjanjian Hudaibiyah dan sebagainya. Semua itu merupakan rahasia Ketuhanan. Di situ Allah Ta'ala melihat sikap Nabi kita Saw

************

"Para Wali dapat melakukan beberapa hal besar yang memang telah ditundukkan oleh Allah SWT dalam hal itu. Sehingga perbuatan-perbuatan tersebut mengundang rasa kagum. Apabila Anda mencermati dengan mata hakiki, niscaya akan terlihat oleh Anda bahwa pelakunya adalah Allah SWT, sedang mereka hanya pengemban saja seperti makhluk-makhluk lainnya, tidak ada bedanya".

************

"Sesungguhnya yang menjadi target seorang Wali adalah memperjelas tentang Allah Ta'ala, menyatu denganNya, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Apabila datang seseorang yang bertujuan kepadanya, meminta kepadanya agar hajat dan kebutuhannya dpat dikabulkan, tanpa meminta kepada Tuhannya, dan tanpa upaya memahami-Nya, niscaya sang Wali akan mencaci dan memarahi orang itu. Sang Wali akan menjadi orang yang selamat apabila dapat lolos dari musibah yang diturunkan melalui orang itu. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut: Bahwa cintanya kepada si Wali, bukanlah karena Allah Ta'ala, tetapi karena ia mempunyai keahlian. Seseorang yang cinta kepada orang atas dasar ahli, maka itu merupakan kerugaian yang nyata. Tidak akan turun kepadanya cahaya kebenaran selama-lamanya".

Juga karena si Wali melihat dengan pandangan yang jelas bahwa orang itu hendak bergantung kepadanya tanpa bergantung kepada Allah. Sehingga ia hendak melepaskan diri daripadanya. Bahkan si hamba ingin lebih dari itu. Sedang si Wali merasa bahwa ia telah melepaskan 'kurma' dan hendak memilih 'bara'".

"Kurma ibarat makrifat tentang Allah, berhenti di hadapan-Nya. Sementara bara, ibarat memutuskan hubungan dengan-Nya dan berpegang kepada selain Dia, cenderung kepada duniawi, dan merasa senang dengan perhiasan duniawi.Di antaranya apabila sang Wali menolongnya dalam memenuhi beberapa kebutuhan dan menerimanya melalui beberapa kasyaf, boleh jadi si hamba justru akan beranggapan bahwa sang Wali itulah yang perlu untuk dimengerti dan yang merupakan dambaan masyarakat, tiada tempat meminta yang lain.Semua itu adalah kesesatan ang justru membangkitkan marah si Wali kepadanya".

************

"Perumpamaan seorang Wali adalah laksana seseorang yang bekerja seperti tukang keramik, ia menggerak-gerakkan tangannya dan membentuk dengan angggota tubuhnya. Dalam pada itu ia pun mempunyai sejumlah simpanan yang juga dibutuhkan orang lain, seperti bahan makanan dan sejenisnya. Simpanan-simpanan itu meskipun ada padanya, tetapi hatinya tidak menjadi risau karenanya dan tidak di hati, tidak sebanding dengan barang sepele. Ia tidak suka berbicara kecuali berkaitan dengan soal keramik dan pekerjaannya. Ia pun tidak suka orang lain berbicara panjang lebar pada persoalan-persoalan lain. Bahkan membencinya sampai orang yang mangajaknya berbicara dapat disakiti oleh lelaki tersebut.

Manakala datang dua orang yang sudah memahami perangainya dan betapa ia tidak suka membicarakan hal lain kecuali tembikar, ia pun menginginkan sebagian dari simpanannya. Maka yang lebih tepat dan lebih cerdik adalah orang yang mengjaknya berbincang-bincang perihal tembikar. Menanyakan soal pekerjaannya, bagaimana ia bekerja dan terus menerus bersikap seperti itu sampai ia memperoleh simpati dan cinta yang besar dari lelaki itu. KEtika kemudian ia meminta sesuatu dri simpanannya, niscaya akan diberikan sebagian kepadanya dan tidka akan menyakitinya. Sedang lelaki satunya yang sebelumnya datang kepada lelaki itu, sejak pertama sudah meminta sesuatu dari simpanannya, mengajak bercakap-cakap soal barang-barang (makanan) simpanannya, sekiranya ia selamat tidak dipukul keramik kepalanya, maka itu sudah beruntung,. Jadi, keuntungannya maksimal tidak dipukul, itu saja.Inilah perumpamaan seorang Wali, tiada memiliki karya, tiada keahlian, kecuali makrifat Yang Haq, cara-cara untuk sampai kepada-Nya. Tidak suka berbicara kecuali tentang Dia, tidak suka berkumpul kecuali untuk-Nya. Tiada jalan lain kecuali dari Dia. Tiada kedekatan kecuali kepada-Nya. Orang yang pemahamannya seperti ini, niscaya akan beruntung di dunia dan akhirat, tetapi yang memahaminya selain dengan cara ini, niscaya akan menjadi sebaliknya".

************

Suatu ketika Beliau pernah ditanya: "Tuanku, semoga Tuan dirahmati Allah, apakah perbedaan antara Thariqah Waliyullah al'Arif asy-Syadzili beserta para pengikutnya, dengan Thariqah al-Ghazali Rahimahullah beserta para pengikutnya?"

Metode kelompok pertama seluruhnya berkaitan dengan rasa syukur, senang menerima karunia nikmat tanpa harus menempuh susah payah dan tanpa beban. Sedang kelompok kedua, metodenya melalui latihan(riyadhah) menentang kesulitan, bersusah payah, tidak tidur malam, menahan lapar, dan sebagainya. Wahai Tuan, manakah kiranya yang ideal untuk diteladani?Asy-Syadzili hanya memerintahkan agar bersyukur sesudah taqarrub ke arah wushul (sampai kepada tujuan [makrifat]), ataukah dalam posisi seperti itu saja? Ataukah ia memerintakan agar bersyukur dan bersuka ria kepada Allah sejak pertama beranjak dan pada saat ia memulai?

Dan mungkinkah kedua Thariqah itu dilaksanakan oleh orang yang sama? Ataukah tidak memungkinkan bagi salah satunya untuk dicapai kecuali harus dengan meninggalkan yang lain?

Maka jawab Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh Ra.:Bahwa yang menjadi dasar Thariqah adalah syukur itu sendiri. Sikap itu pulalah yang menjadi Susana hati para Nabi maupun orang-orang yang disucikan di kalngan para sahabat beserta yang lain. Artinya, beribadah kepada Allah Ta'ala melalui peribadatan yang tulus tanpa berharap keuntungan-keuntungan lain, disertai dengan kesadaran akan kelemahan diri dan kekurangan, tidak kuasa untuk secara sempurna memenuhi hak ketuhanan. Sikap seperti itu kokoh di dlaam hati seiring dengan bergulirnya waktu dan zaman.

Manakala Allah Ta'ala melihat adanya kejujuran seseorang dalam hal itu, niscaya Dia akan mengganjar mereka dengan karamah-Nya, baik berupa 'penglihatan-penglihatan' (futuh) dalam makrifat-Nya. Ia akan memperoleh rahasia-rahasia iman kepada Allah 'Azza wa Jalla.

Ketika kelompok lain melihat hasil yang diperoleh mereka itu, seperti 'penglihatan', lalu persoalan 'penglihatan' itu pun menjadi target serta dambaan mereka. Selanjutnya mereka pun mengejarnya dengan jalan berpuasa dan beribadah malam, bergadang dan berkhalwat. Lalu mereka pun sukses memperolehnya sebagaimana mereka yang mendapati sebelumya itu.Jadi, hijrah melalui Thariqah 'Syukur' merupakan langkah pertama menuju Allah dan Rasul-Nya. Bukan ke arah memperoleh penglihatan (futuh) atau penyingkapan (kasyf). Sedang melalui Thariqah 'Riyadhah' adalah ditujukan untuk memperoleh 'penglihatan' dan memperoleh kedudukan (maqam). Melalui metode yang pertama adalah perjalanan batin. Sedang yang kedua adalah perjalanan tubuh. Penyingkapan jenis pertama bersifat datang dengan sendirinya. Tidak dapat diperoleh hamba yang berupaya mencapainya.Ketika seorang hamba sedang berada pada posisi menuntut taubat dan memohon ampunan dari dosa-dosa, maka tiba-tiba datanglah kepadanya penglihatan yang nyata.

Kedua Thariqah tersebut sudah benar. Tetapi Thariqah 'Syukur' adalah lebih benar dan lebih tulus. Dan kedua Thariqah itu juga melalui jalur 'riyadhah' (berlatih), tetapi yang pertama adalah berlatih batin dengan segala kaitan berkenaan hak-hak Allah Ta'ala, tekun menanti di Pintu-Nya, berlindung kepada Allah Ta'ala baik di dalam gerak maupun diam, menjauhi kelalaian-kelalaian yang datang silih berganti di antara waktu-waktu yang menjelang.Kesimpulannya, riyadhah di sini berkaitan dengan suasana hati terhadap Allah 'Azza wa Jalla dan konsisten dengan sikap begitu, wlaupun secara lahiriyyah tidak terlihat banyak-banyak beribadah. Oleh karena itu terkadang si pelaku melakukan puasa terkadang tidak. Terkadang melakukan ibadah malam terkadang tidur, menggauli istri, dan melaksanakan segenap aktivitas syariat yang berlawanan dengan riyadhah tubuh".

Kemudian, setelah memperoleh penglihatan, ada sebagian dari mereka yang kembali pada niat semula, hatinya terkait dengan berbagai hal yang disaksikannya pada alam-alam lain. Merasa senang karena memperoleh penyingkapan, berjalan di atas air, berjalan dengan mengambang, dan berpendapat bahwa semua itu adalah tujuan akhirnya.

Ini termasuk orang-orang yang terlepas hati mereka dari Allah 'Azza wa Jalla sejak langkah pertama dan juga pada akhirnya. Dan itu termasuk amal yang paling merugi. Yaitu orang-orang yang kandas upayanya selama di dunia, sedang ia menyangka bahwa ia telah berbuat sebaik-baiknya.

Ada juga dari mereka yang mengerahkan niatnya sesudah memperoleh penampakkan, dan Allah Ta'ala merahmati mereka, memegang tangannya, dania pun menambatkan hatinya kepada hak-hak Alah Ta'ala dan menjauhi dari selain-Nya. Inilah kondisi orang-orang yang juga memperoleh 'penglihatan' yang pada langkah pertamanya melalui Thariqah 'Syukur'. Betapa jauh perbedaan antara kedua cara tempuh tersebut. Dan terlihat jelas hal-hal yang menjadi taget pelaku-pelakunya.

Kesimpulannya, perjalanan melalui Thariqah pertama adalah perjalanan hati, sedangkan Thariqah kedua adalah perjalanan tubuh. Niat pada kelompok pertama adalah tulus. Sedang pada kelompok kedua adalah rancu. Penglihatan yang datang pada kelompok pertama bersifat sekonyong-konyong, bukan melalui upaya pencapaian dari pihak sang hamba. Jadi, bersifat 'Rabbani'. Sedang perjalanan pada kelompok kedua dicapai melalui upaya dan sebab. Oleh karena itu perbandingkanlah kedua kelompok tersebut.

Penglihatan jenis pertama, tidak dapat diperoleh kecuali oleh seorang mukmin yang Arif, tersayang dan dekat. Berlawanan dengan penampakkan jenis kedua. Bahkan sering Anda dengar ada dukun-dukun atau rahib-rahib Yahudi yang melakukan berbagai riyadhah, mereka pun dapat memperoleh sebagian karunia yang bersifat ujian (istidraj).

Di sini kami membahas sepenuhnya tentang riyadhah. Ada yang berasal dari orang yang berniat benar, ada yang berasal dari orang yang berniat batil. Kami tidak membahas riyadhah yang dilakukan oleh Abu Hamid al-Ghazali Rahimahullah secara khusus. Sebab beliau adalah seorang Imam hakiki dan seorang Wali yang tulus.

Di sini kami membahas sepenuhnya tentang riyadhah. Ada yang berasal dari orang yang berniat benar, ada yang berasal dari orang yang berniat batil. Kami tidak membahas riyadhah yang dilakukan oleh Abu Hamid al-Ghazali Rahimahullah secara khusus. Sebab beliau adalah seorang Imam hakiki dan seorang Wali yang tulus.

Yang dimaksud dengan pendidikan (tarbiyah) adalah penjernihan jiwa, membersihkannya dari kotoran, sehingga mampu untuk memikul batin. Dan itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara melenyapkan kegelapan yang ada di dalamnya, dan memutuskan ikatan kebatilan dari hadapannya, lalu memutuskan yang batil dari batin. Adakalanya melalui kesucian yang menjadi dasar fitrahnya. Artinya, Allah yang membersihkannya tanpa sarana lain. Dan yang seperti ini adalah kondisi generasi ketiga yang luhur, yang terdiri dari generasi orang-orang yang lebih baik. Sebab ketika itu masyarakat cenderung kepada kebenaran. Mereka menggalinya. Tidur bersama kebenaran, terbangun pun terbangun oleh kebenaran, bergerak bersama kebenaran. Sehingga ketika Allah membukakan hatinya, maka ia dapati akal pikirannya berada di situ. Sekalipun demikian tidak banyak orang-orang menambatkan hatinya kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mencari upaya untuk dapat mencapai keridhaan keduanya.

Oleh karena itu terdapat banyak kebaikan pada mereka, dan memancar pula cahaya kebenaran dari zat mereka. Bermunculan dari mereka berbagai ilmu dan meningkatnya derajat kesungguhan yang tidak dapat dibayangkan dan tiada terpikulkan.

Pendidikan pada masa-masa ini memang tidaklah dibutuhkan. Manakala seorang Guru berjumpa dengan muridnya, bergaul dengan sikap batin Gurunya, mewarisi nur-nya, maka ia pun akan berbicara di telinganya. Maka secara sepontan akan terjadilah penglihatan (futuh) pada si murid hanya seperti itu saja. Lantaran sucinya diri dan kejernihan pikiran dan kesungguhannya untuk berada di jalan yang lurus. Bahkan adakalanya muncul sebab-sebab dari pihak si Guru, maksud kami lenyapnya kegelapan itu melalui jiwa sang Guru. Tarbiyah seperti itu terjadi pada masa sesudah generasi istimewa berlalu.Pada saat sudah terjadi kerusakan niat lalu menjadi sirna dan lenyap, akal pikiran menjadi tertambat kepada duniawi. Berupaya untuk memperoleh hawa nafsun dan menganggap suci diri sendiri. Kemudian seorang Guru yang memiliki bashirah (mata hati) mengajar kepada muridnya dan mewariskannya. Ia pun mengenalnya dn memandang kepadanya, tetapi akal pikirannya tetap terikat dengan hal-hal yang batil dan keinginan untuk mengikuti hawa nafsu. Kemudian dirinya pun mengikuti akal. Lalu menjadi lalai bersama orang-orang yang lalai, lupa bersama orang-orang yang lupa, cenderung kepada orang-orang batil. Anggota tubuh bergerak seiring langkah-langkah tidak terpuji. Lantaran akal pikiran yang merupakan pengaturnya sudah terikat dengan kebatilan, bukan kepada kebenaran.

Apabila sudah terdapat kondisi seperti ini, ia pun akan memerintahkannya agar melakukan khalwat dan dikir, mengurangi porsi makan. Dengan cara berkhalwat (mengucilkan diri), ia pun akan terputus hubungan dengan orang-orang yang bermoral rusak yang termasuk kategori orang-orang mati (hatinya). Melalui dzikir akan dapat melenyapkan ucapan-ucapan batil, main-main, dan olok-olok yang terbiasa diucapkan oleh lidah-lidahnya. Dengan mengurangi porsi makan, akan dapat mengurangi uap yang terdapat di dalam darah yang dapat membersihkan hawa nafsu. Kemudian kembalilah akal pikiran untuk menambat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Apabila si murid sudah sampai pada tahap kesucian dan kejernihan seperti ini, maka jiwanya sudah mampu untuk mengemban sir (rahasia). Inilah yang menjadi tujuan Guru dalam men-tarbiyah muridnya dalam melakukan khalwat. Cara-cara seperti itu tetap berlaku sampai satu masa berbaur antara yang benar (haq) dengan yang batil, dan antara cahaya dengan kegelapan. Lalu orang-orang batil membina orang-orang yang datang kepada mereka (untuk berguru) dengan cara memasuki khalwat. Membaca Asma-asma Allah atas dasar niat yang buruk, dengan tujuan yang berlawanan dengan kebenaran. Bahkan adakalanya melibatkan niat-niat untuk mengambil khadam (pendamping/pembantu dari alam ghaib) yang justru akan menjerumuskan mereka ke arah makar kepada Allah dan masuk ke dalam fitnah.Hal-hal seperti ini terjadi dalam beberapa kurun waktu didapati oleh Syekh Amad Zaruq Rahimahullah dan juga oleh Guru beliau. Lalu beliau memberikan nasehat-nasehat kepada mereka agar membimbing masyarkat untuk kembali meninggalkan pendidikna seperti itu, yang telah banyak melibatkan banyak orang-orang jahat. Agar mereka membawa manusia ke halaman rasa tentram yang di situ tidak ada lagi perasaan takut dan gelisah, yaitu dengan cara mengikuti Kitabullah dan Sunnah yang melalui keduanya itu tidak akan menjadi sesat lagi.

Jadi, penjelasan Beliau Rahimahullah itu dinyatakan dalam bentuk nasehat dan saran agar berhati-hati, bukan semata-mata hendak menghentikan pendidikan hakiki secara mutlak. Tidak mungkin Beliau bersikap seperti itu. Sebab cahaya Nabi Saw itu abadi, kebaikannya adalah lengkap, berkahnya pun bersifat umum sampai hari kiamat".
Suatu saat yang santai setelah Beliau kembali ke Jakarta, Syekh al-Akbar duduk dengan berpegangan dengan tongkatnya, memberikan pencerahan kepada kami di dalam kantor sekretariat. Uraian Beliau kali ini terasa ringan sehingga mudah dicerna dan diingat. Hadir bersama saya beberapa karyawan Q-Mart yang kebetulan berada di ruang sekretariat.

Beliau bertanya, 'Tahu gak, profesi apa yang paling tinggi kedudukannya dibandingkan profesi lain yang dipegang oleh manusia?' Kami pun terbengong-bengong, karena pertanyaan itu muncul tiba-tiba di hadapan kami. Kemudian Syekh al-Akbar menguraikan, 'Kalau orang yang profesional itu kan bergelar profesor. Seorang profesor itu adalah orang yang bekerja secara proporsional di bidangnya. Di dunia ini ada orang yang bergelar profesor di bidang kedokteran, arsitektur, ekonomi, dsb. Mereka melahirkan karya yang tinggi nilainya. Seperti dokter, Bapak aja kemarin saat berobat mesti membayar jasa dokter sebesar 30 juta. Kalau kita perhatikan karya manusia di bidang arsitektur apalagi pesawat terbang, maka karya mereka itu nilainya sangatlah mahal. Mana di antaranya yang paling tinggi kedudukannya? Manakah profesor yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah?'

Saya sempat menjawab, 'Seorang pendidik!' (saya berfikir bahwa seorang pendidik atau guru-lah yang melahirkan seluruh profesor-profesor itu).

Syekh al-Akbar menggelengkan kepalanya. 'Tidak ada yang tahu?' tanya Beliau. 'Udah gak ada yang tahu? Nyerah aja deh!'

Beliau menjawab, 'Jawabannya adalah menjadi 'Abid. Yakni menghambakan diri kepada Allah. Seseorang bergelar profesor di bidang kedokteran, paling-paling karyanya sebatas di dunia ini saja. Karya arsitektur dan pesawat terbang nilainya bisa diukur mahalnya. Tapi, seorang 'Abid, karyanya tidak bisa diukur dengan nilai kehidupan dunia. Seorang yang menghambakan diri kepada Allah memiliki karya yang jauh lebih tinggi nilainya dari karya seorang profesor dunia.

Orang yang masuk syurga tidaklah mesti orang yang pintar yang bergelar profesor, atau diukur kaya miskinnya, bukanlah orang yang rajin sholat atau tidak, banyak berdzikir atau tidak, tapi ia adalah orang yang mendapatkan petunjuk. Ukuran petunjuk itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda, dan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Ada orang yang kelihatannya tidak pintar, tapi mendapatkan petunjuk yang teramat tinggi, sehingga ia layak mendapatkan syurga Allah.

Seorang 'Abid yang sudah rindu bertemu kepada Allah keadaanya seperti besi yang dekat dengan magnet. Ia tidak ingin dipisahkan. Mereka semua tidak perlu disuruh lagi, ketika menghadap Allah, seluruh Abid bersujud di hadapannya. Mereka lupa dengan syurga yang dijanjikanNya itu. Kemudian syurga menangis karena dicuekin. Allah perintahkan, 'Wadkhulii jannatii' Masuklah ke dalam syurga-Ku. Maka jika tidak karena perintah Allah ini mereka tidak mau memasuki syurga. Inilah yang menjadi hak syurga untuk dikunjungi dan dinikmati oleh para Abid-Nya. '

Dunia ini adalah kehidupan perdagangan (jual beli). Sekarang, Bapak mau tanya? Orang yang datang mengaji kepada Bapak tujuannya apa? Dan kalian (Syekh al-Akbar sambil menunjuk kepada salah seorang di antara kami) datang ke sini tujuannya untuk apa?' tanya Syekh al-Akbar.

Kami semua terdiam.

'Kalau tidak mendapatkan gaji, mengapa bekerja?''Tentu orang yang datang untuk bekerja, adalah untuk mengharapkan upah (gaji). Begitu juga orang yang datang ke sini (mengaji). Tentu mengharapkan syurganya Allah SWT'.'

Jadi, orang-orang yang datang kepada Bapak tujuannya adalah bukan untuk mengkultuskan atau mengikuti keinginan Bapak. Mereka semua ingin mencari ilmu untuk mencapai syurga Allah! Karena tujuan seseorang datang mengaji adalah untuk mendapatkan syurga yang telah dijanjikan Allah!''Tapi mengapa, orang-orang ada yang mendiskreditkan pengajian di Idrisiyyah dengan mengatakan syirik karena minta pertolongan Gurunya. Seharusnya (kata mereka) minta tolong langsung kepada Allah, bukan kepada Guru. Padahal mereka datang ke dokter untuk minta tolong tidak disebut sebagai syirik! Aneh ya?!'

Nah, Bapak sebagai orang yang dipilih Allah memberikan uraian yang sederhana dan mudah dicerna dalam menjalani agama bagi umat yang hidup pada masa sekarang ini. Yang sulit adalah mencari sosok yang dapat menyelamatkannya di akhirat nanti, membebaskannya dari siksa-Nya, bahkan menjadi orang yang bebas dari hisab Allah. Banyak yang tidak mempedulikan hal ini.

(Pengalam seorang murid Al-Idrisiyyah dengan Syaikh Akbar)

Rabu, 03 Juni 2009

Ciri-Ciri Seorang Waliyan Mursyidan


Setiap Mursyid yang ada pada thariqat di manapun juga dapat dijadikan sandaran untuk berabithah, namun yang lebih utama adalah mempunyai kriteria atau ciri-ciri seperti yang diisyaratkan Al-Quran dan Al-Hadits, yakni:


  1. 1. Adanya istikhlaf, pemandatan kekhalifahan (kepemimpinan) secara pemilihan melalui proses Ilahiyah, bukan berdasarkan proses demokrasi, yakni pengangkatan dari seluruh jama'ah. Tegasnya, kebijakan dari Atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas. Prosesnya menyerupai seorang Presiden diangkat oleh Gabenor dengan Timpalan Presiden. Pengangkatan kepemimpinan yang didasari kehendak manusia mempunyai segudang kelemahan, dan penggunaan suara terbanyak dalam menentukan suatu kepemimpinan tidak bisa menjamin datangnya rahmat dan keridhaan Allah, sebab nilai-nilai kebenaran bukanlah ditentukan dengan jumlah yang terbesar/terbanyak."Kemudian Kami wariskan kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar". (QS. Fathir[35]: 32)Sabda Nabi SAW:"Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi". Kalimat Ulama di sini menunjukkan ketertentuan (dengan isyarat Alif Lam ma'rifah), bahwa tidak semua Ulama itu adalah Pewaris para Nabi As. Ketentuannya diterangkan lebih lanjut dalam uraian berikutnya.

  2. Ada nasab. Sungguhpun demikian tidak mutlak kepada Nasab. Jejak kenasaban itu sendiri dalam genggaman kekuasaan Allah, tidak semua mengetahui jaringan kenasaban sehingga terkadang dirinya sendiri tidak mengetahuinya. Tidak tiap-tiap nasab (habaib) diwarisi kemursyidan, yang punya sidiq amalnya, lurus, teliti, teguh amalnya. Ditonjolkan perihal kenasaban ini memiliki dua dampak (positif dan negatif). Sehingga Allah-lah yang mengetahui siapa yang berhak memangku kemursyidan, dan pada dasarnya setiap insan mempunyai darah (nasab) kenabian (Adam As).Firman Allah dalam Surat Hud[11]: 73:"(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya, dicurahkan atas kamu, wahai Ahlul bait! Sesungguhnya Allah Teramat Terpuji lagi Pemurah".Keluarga Nabi oleh Allah SWT diberikan limpahan keberkahan dan keselamatan, karena dalam setiap shalawat kita dianjurkan mengucapkannya. Begitu pulalah kita lantunkan dalam setiap shalat ketika tasyahud akhir:"Yaa Allah berikan limpahan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah berikan itu semua kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya".Catatan: Tidak mutlak mengedepankan nilai kenasaban sebagai jaminan ketaqwaan karena secara historis kedudukan nasab tidak menjamin ketaatan seseorang kepada Allah & Rasul-Nya. Dalam Al-Quran Allah mengingatkan Nabi Nuh tentang anaknya: ‘Wahai Nuh! Mereka bukanlah bagian keluargamu (Yaa Nuuh, innahuu laysa min Ahlik)'. (QS. Hud[11]: 46)

  3. Kebijakan-kebijakannya senantiasa berpijak kepada Sunah Rasul dan para sahabatnya, serta orang-orang yang saleh lagi sidiq (benar). Dan juga tidak mencampurkan yang haq dengan yang batil. Sesuai firman Allah: "Dan janganlah engkau mencampurkan yang haq dengan yang batil, dan janganlah engkau menyembunyikan yang haq itu, sedangkan engkau mengetahuinya". (QS. Al-Baqarah[2]: 42)

  4. Landasan penentuan hukum berpijak pada aturan yang telah ditetapkan Allah & Rasul-Nya. Ketegasan dalam penyampaian hukum akan memperjelas posisi haram dan halal bagi umat. Seorang Mursyid dapat menunjukkan di mana posisi hukum suatu permasalahan sesuai perkembangan masa berdasarkan ruh perintah dan larangan Allah SWT. Sebagai contoh keberadaan rokok, bunga bank, jual beli uang, jual beli air, dsb. yang pada masa dahulu belum ada.Watak kebijakan seorang Mursyid harus bersifat menyeluruh dalam menentukan suatu hukum. Kerangka berfikir dan tindakannya selaras dengan Kehendak Allah, serta tidak berdiri pada (baca: mengutamakan) suatu pihak/golongan tertentu, meskipun ia ada di pihaknya.

  5. Harus memiliki rasa keberpihakan terhadap sifat-sifat Ilahiyah, di antarnya: Arif dan bijaksana. Pengertian Arif di sini memiliki wawasan/pandangan yang luas dan jauh ke depan dalam memahami berbagai makna kehidupan, baik orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Tidak ubahnya mendekati sifat-sifat kenabian. Adapun sifat-sifat bijaksana itu selalu memahami kemajemukan (heterogen)nya tingkat keberadaan manusia. Di antaranya terhadap orang-orang yang berada dalam kekafiran dan kefasikan serta orang-orang yang berdosa. Ia harus betul-betul memahami sebab musabab mereka bersikap/berperilaku seperti yang demikian itu, sehingga tidak ada sikap kebencian yang muncul dalam hati Mursyid tersebut terhadap mereka.

  6. Mencerminkan pribadi-pribadi yang bersikap pema'af dan bersabar menerima fitnah/ujian dari orang-orang yang memfitnah atau merendahkan dirinya. Hal demikian telah diajarkan oleh para Nabi/Rasul terdahulu, yang banyak mengalami tantangan dan ujian dalam melaksanakan tugas dakwahnya

  7. Dalam setiap memberikan bimbingan, pengajaran atau fatwa-fatwa perintah, senantiasa kebijakannya itu tidak pernah memaksakan kepada siapapun. Karena pada dasarnya setiap manusia dijadikan oleh Allah sebagai Khalifah atau dalam pengertian lain adalah sebagai pemimpin atas dirinya masing-masing. Di mana seorang pemimpin itu mempunyai hak kemerdekaan/kebebasan atau hak veto untuk menyatakan ‘ya' atau ‘tidak', ‘iman' atau ‘kafir', ‘tunduk' atau ‘menentang/menolak'. Kesifatan-kesifatan ini begitu kental ditetapkan oleh Allah kepada manusia, yakni tidak ada paksaan dalam agama sehingga hal itu merupakan bagian hak-hak asasi setiap manusia. Maka sesuai dengan firman-Nya: "Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". (QS. Al-Kahfi[18]: 29)Inilah kebijakan Ilahiyah yang tertuang di dalam Al-Quran yang dipedomani sebagai karakteristik sebagai sifat-sifat kenabian.

  8. Tidak merasakan takut dalam menyampaikan yang hak kepada orang lain, meskipun pahit bagi dirinya dan yang mendengarkannya.ٍٍ Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:"Katakanlah yang benar walaupun pahit"."Dan janganlah engkau mencampuradukkan yang haq dan batil serta menyembunyikan yang haq itu, sedangkan engkau mengetahuinya". (QS. Al-Baqarah[2]: 42)Itulah ciri-ciri kemursyidan/kewalian yang disifatkan Allah dalam Al-Quran:"Ketahuilah, sesungguhnya para Wali (kekasih) Allah itu tiada sedih dan berduka cita (terhadap selain Allah). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka yang selalu bertaqwa. Mereka mendapatkan kabar baik di kehidupan dunia maupun di akhirat. Tiadalah ketetapan Allah itu berubah". (QS. Yunus[10]: 62-63)

  9. Terjaga dalam sikap kehati-hatian (wara') tentang manfaat dan mudharatnya dunia, sebab firman-Nya mengatakan: "Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan". (QS. Ali Imran[3]: 185)Dikatakan dunia itu menipu karena kebaikan dan keburukan dunia itu tidak tampak untuk membedakannya: "Katakanlah, Tidak tampak perbezaan antara keburukan dan kebaikan". (QS. Al-Maidah[3]: 100)

  10. Menata kesinambungan keseimbangan (tawazun) dunia dan ukhrawi. Keduanya memiliki kepentingan masing-masing yang saling terkait. Menjalani keduanya sesuai dengan sistem yang berlaku. Maka jika terjadi ketidaksinambungan/ketidakseimbangan pada seorang murid dalam satu sisi kehidupan, maka akan diarahkan pada posisi yang lebih sesuai dengan kemampuannya.

  11. Tidak bersikap komersil atau menentukan bayaran dalam menjalankan dakwahnya, yakni bersikap Zuhud. Firman Allah SWT:"Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. Yaasin[36] :21)

  12. Bersikap peduli menjaga hubungan baik kepada orang-orang yang berbeda agama/kepercayaan. Firman Allah SWT mengatakan:"Tolaklah dengan cara yang lebih baik akan kejahatan itu, maka mendadaklah orang yang mempunyai permusuhan denganmu menjadi dekat denganmu bagai sahabat karib. Dan tidaklah dapat melakukannya kecuali orang yang sabar dan tidak dapat mencapainya kecuali orang yang mempunyai nasib yang baik (keuntungan yang besar)". (QS. Fushshilat[41]: 34)

  13. Bersifat Murobbi Ruh. Seorang Mursyid membimbing muridnya di manapun mereka berada, walaupun ia telah dipisahkan dengan alam yang berbeda. Karena Allah menyatakan:"Dan janganlah engkau katakan bahwa hamba-hamba yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup. Tetapi tidaklah engkau menyadarinya". (QS. Al-Baqarah[2]: 153) Dalam ayat lain dikatakan: "Bahkan mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka diberi rizki". (QS. Ali Imran[3]: 169)Predikat Murobbi Ruh ini biasanya melahirkan bukti-bukti yang kuat, dan dialami oleh setiap muridnya, baik disadari maupun tidak.

  14. Keberhasilan lahiriyyah bukanlah merupakan tujuan pokok, di antaranya banyak ataupun sedikit yang menjadi pengikutnya bahkan mungkin tidak dipercaya oleh umatnya/kaumnya, maka tidak gugur kemursyidannya, menang atau berjaya tidaknya dari kesewenangan pihak musuh/kafir dan yang fasik. Tak ubahnya dengan kenyataan dialami para Nabi terlebih dahulu, seperti Nabi Ayub, Nabi Yunus, Nabi Yahya, Nabi Isa, Nabi Ibrahim, dsb. Dan yang berhasil di antaranya adalah: Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad. Demikianlah sepak terjang para Nabi dan para Rasul, dan begitu pula para Mursyid yang jika tidak diikuti oleh kaumnya, tidak gugur kemursyidannya, yang gugur adalah tugasnya dalam menyampaikan. Itulah tanda-tanda kenabian dan kemursyidan, yang memiliki ciri khas yang serupa, yang kedudukannya hanya sebagai pemberi kabar."Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah sekedar menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". (QS. Yasin[36]: 17)Seorang Mursyid tidak lain hanyalah sebagai gembala-gembala dan pembimbing ke jalan yang lurus.Sesungguhnya kedudukan seorang Mursyid yang dimaksud dalam Al-Quran & Al-Hadits di samping sebagai pemberi petunjuk adalah mempunyai posisi sebagai pembaharu (Mujaddid), yakni sebagai pemberi solusi terhadap berbagai persoalan umat di setiap masa. Sabda Nabi SAW:"Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla akan membangkitkan seseorang bagi umat Islam ini pada setiap 100 tahun yang memperbaharui agama". (HR. Abu Daud & Hakim, dari Abu Hurairah). "Hendaklah engkau berpijak atas Sunnahku dan sunnah Khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah (setelahku), peganglah kuat-kuat atasnya dan gigitlah dengan gigi gerahammu (biar tidak lepas)". (HR. Tarmidzi)"Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa-siapa yang Dia kehendaki". (QS. Al-Baqarah[2]: 269)Seorang Mujaddid diberikan hikmah (ilmu laduni) oleh Allah SWT melalui pengajaran-Nya (At-Ta'allumur Robbaniyyah).

Wallaahu A'lam.

BUGHYATUL MUSTARSYIDIN,Sebuah kitab yang merupakan ringkasan Fatwa-fatwa beberapa Imam, Ulama Muta-akhirin serta faidah-faidah penting dari kitab-kitab 6 Ulama Mujtahid. Karangan Sayid Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba ’Alawi (Mufti Hadhramaut)

(Pemasalahan): Tembakau yang dikenal sebagai perbuatan yang keji karena dapat menghilangkan keadaan (kesehatan atau kesadaran) dan harta. Orang yang memakan, menghirup atau mengisapnya bukanlah termasuk orang yang memiliki rasa malu (muru’ah).
Sesungguhnya telah berfatwa para Imam Ahli Shufi seperti Al-Quthub Tuan Abdullah bin Alwi al-Haddad dan al-’Allamah Ahmad al-Hadwan, sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Quthub Ahmad bin Umar bin Sumaith dari kedua Imam tersebut atau selainnya yang serupa pendapatnya. Bahkan tercelanya diungkapkan lagi oleh al-Habib al-Imam Husain bin Syekh bin Abu Bakar bin Salim yang berkata: ’dikhawatirkan orang yang tidak bertaubat dari menghisap tembakau sebelum matinya akan mati dalam keadaan Su-ul Khatimah, wal ’Iyaadzu billaahi ta’aala’[2]

Dan telah melengkapi uraian di dalamnya, nukilan al-’Allamah Abdullah Baswedan dalam kitab Faidhul Asraar dan Syarh Khutbah. Dan menyebutkan pula beberapa pengarang kitab mengenai keharamannya, seperti al-Qolyubi dan Ibnu ’Allan, yang meriwayatkan hadits di dalamnya.
Dan berkata al-Hasawi dalam Tatsbitul Fu-ad min Kalaami al-Haddad: ‘Saya berkata: Saya melihat dalam kitab Tafsir al-Muqni’ul Kabiir, bersabda Nabi Saw: “Wahai Abu Hurairah akan datang beberapa kaum di akhir zaman yang mengekalkan menghisap rokok (pohon tembakau ini) dan mereka berkata: kami sekalian termasuk sebagian umat Muhammad SAW, dan padahal mereka bukanlah termasuk daripada umatku dan aku tidak mengakui mereka sebagai umat, tetapi mereka itu merupakan sebagian umat yang liar. Berkata Abu Hurairah: “Aku bertanya kepada Nabi SAW dari apakah tumbuhnya?”. Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya tembakau itu tumbuh dari kencing iblis. Apakah tetap iman di hati seseorang yang menghisap kencing setan? maka di laknat orang yang menanamnya, yang memindahkannya, dan yang menjual belikannya. Telah bersabda nabi SAW Allah akan memasukan mereka kedalam api neraka Bahwasanya pohon tembakau itu pohon yang keji.”

Dan saya melihat tulisan al-’Allamah Ahmad bin Hasan al-Haddad dalam Tatsbitul Fu-ad, ‘Saya mendengar sebagian Muhibbin (para Awliya Pencinta Allah) berkata: “Dahulu ada orang yang mengisap Tutun[3] (tembakau) secara sembunyi dan ia termasuk orang yang mengasihi para Ulama keluarga al-Haddad, ketika ia mati aku melihatnya dan aku bertanya: ‘Apa yang Allah perbuat denganmu?’ Mereka berkata: ‘Telah memberikan syafa’at kepadaku seorang Ulama yang terdahulu kecuali masalah tembakau, sesungguhnya tembakau itu menyakitiku’. Dan aku melihat di dalam kuburnya terdapat lubang dan mengeluarkan asap yang menyakitinya’. Dan Muhibbin itu berkata: ‘Sesungguhnya syafa’at Awliya itu terhalang oleh perbuatan mengisap tembakau (merokok). Saya melihat orang-orang yang (dikenal) shalih tetapi ia mengisap tembakau, maka aku melihat sesudah matinya berkata: ‘Sesungguhnya orang yang menghirup tembakau itu mendapatkan separuh dosa peminum (arak), maka hindarilah dari orang yang mengisap tembakau itu’. Dan berkata seorang Wali yang Mukasyafah[4] Asy-Syarif Abdul Aziz ad-Dabbagh[5]: ‘Telah sepakat orang-orang Ahli Dewan para Wali atas keharaman Tutun ini, dst.’

[1] Hal. 163-164 Daarul Fikr
[2] Kita mohon perlindungan kepada Allah.
[3] Pada masa dahulu rokok dikenal dengan ‘Tutun’ (bahasa Turki).
[4] Tersingkap tirai keghaiban.
[5] Wafat 1717 M. Beliau adalah sendiri Tarekat Khidhiriyyah, yang generasi setelahnya melahirkan Tarekat-tarekat Muta-akhirin lainnya, seperti Sanusiyyah, Idrisiyyah, Mirghaniyyah, Rasyidiyyah, Dandarawiyyah, Ja’fariyyah, dsb. Kitab beliau yang masyhur (al-Ibriiz) ditulis oleh muridnya sendiri (Abdullah bin Mubarak), karena beliau tidak dapat membaca dan menulis (Ummy). Istilah Dewan para Wali ini beliau jelaskan pula dalam kitabnya tersebut.

Pokok-Pokok Ajaran

Al-Idrisiyyah adalah aliran Thariqat yang didirikan Sayyid Ahmad bin Idris Al‑Fasi (w. 1253) yang memperoleh pelajaran tasawufnya dari Sayyid Abdul Wahhab At-Tazi (w. 1131 H.), seorang sufi reformer berasal dari Afrika. Abdul Wahhab At‑Tazi ini juga guru dari Sayyid Muhammad Ali As‑Sanusi Al-Kabir (orang Barat menyebutnya the Grand Sanusi). Pendiri Thariqat Sanusiyah. Karenanya tak mengherankan jika antara kedua Thariqat ini terdapat banyak kesamaan terutama dalam ajaran-ajarannya. Sebab kedua Thariqat ini berasal dari guru yang sama.

Ada baberapa nama diberiken kepada aliran Thariqat ini. Terkadang disebut Al-Idrisiyyah, nama yang dihubungkan dengan Sayyid Ahmad bin Idris, namun sering pula disebut Khidiriyyah, nama yang dikaitkan kepada Nabi Khidir As[1]. Bahkan, Sayyid Muhammad Ali As-Sanusi dalam bukunya Al-Manhalu Ar‑Raawii Ar-Raaiqu fii Asaanidi Al-'Ulum wa Ushuuli At‑Thariiq menyebut Thariqat ini Muhammadiyah juga ada pula catatan yang menyebut Thariqat ini Ahmadiyah[2], nama yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Idris.

Sebagaimana Thariqat Sanusiyah, Thariqat Al-Idrisiyah pun punya banyak pengikut terutama di daerah Afrika seperti Tunisia, Libia, Yaman dan sebagainya serta daerah‑daerah lainnya dan seperti Saudi Arabia, Mesir, dan lain‑lain. Adalah para jemaah haji yang sekaligus memperdalam Ilmu agama di Makkah yang sangat besar peranannya dalam penyebaran Thariqat ini. Ini terjadi karena dalam + 36 tahun Ahmad bin Idris menjadi guru di Makkah yang setiap kali mengajar selalu di ikuti banyak murid berasal dari berbagai daerah.

Di Indonesia, Thariqat Al-Idrisiyyah nampaknya kurang popular jika dibanding dengan Thariqat‑Thariqat lainnya, seperti Tarikat Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syadziliyyah, Samaniyah, Tijaniah, Sanusiyyah, atau Rifa’iyah. Dalam literatur-literatur Indonesia, Thariqat ini jarang dibicarakan. Buku Pangantar llmu Thariqat (Bulan Bintang, 1985) karangan Prof. H. Abubakar Atjeh misalnya, hanya sedikit menyinggung Thariqat ini. Itupun tak secara spesifik, melainkan dimasukkan dalam pembahasan mengenai Thariqat Sanusiyah. Padahal, Thariqat‑Thariqat lainnya dibahas secara cukup panjang lebar.

Masuknya Thariqat Al-Idrisiyyah ke Indonesia terjadi sekitar 1930-an, oleh Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah sebagai pembawanya. la lahir di desa Cidahu, Tasikmalaya, pada 1884 M/1303 H. dan merupakan anak ke‑3 dari 10 orang bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syarif bin Umar dan H. Rafi’ah binti Jenah. Nenek moyangnya tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa, yaitu Sunan Derajat.

Suatu hari guru dari Abdul Fatah Haji Suja'i. membahas Surat Kahfi ayat ke- 17, yang artinya "Barang siapa mengambil petunjuk Allah, maka dia akan mendapat petunjuk dan barang siapa yang tersesat (jalannya), maka tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang memberi petunjuk kepadanya." Abdul Fattah bertanya siapakah yang dimaksud waliyyan mursyida dalam ayat itu, dan apakah gurunya termasuk "waliyyan mursyida". "Bila Ingin mendapatkannya sebaiknya segeralah engkau berangkat untuk mencarinya," jawab sang guru.
Sejak itu Abdul Fattah izin sekaligus mencari orang yang disebut "waliyyan mursyida". Maka, pada 1924 Abdul Fattah sekeluarga berangkat ke Tanah Suci. Namun, sampai di Singapura kapal yang ditumpanginya mengalami kerusakan. Mereka Ialu menetap di sana selama beberapa tahun. Barulah pada 1928, ia dapat melanjutkan perjalanannya ke Makkah. Sampailah ia di Jabal Abu Qubais[3] dan di tempat ini ia berguru kepada Syekh Ahmad Syarif Sanu­si. Dari Syekh inilah ia memperoleh ilmu Thariqat yang dikembangkan oleh Ahmad bin ldris, dengan mendapatkan kepercayaan penuh (mandat kekhalifahan) untuk membawa ajaran ini ke Indonesia.

Sekembalinya di Indonesia Abdul Fattah mengembangkan Thariqat ini. Mula-mula di daerah Jakarta, Ialu di Cidahu, Tasikmalaya. Di Cidahu ini dengan cepat ajaran Thariqatnya dikenal. Salah satu yang membuat kelompok Thariqat ini cepat dapat perhatian, mungkin karena cara berpakaian yang menyerupai orang-orang Arab, yaitu pakaian serba putih serta berjenggot. Karena Itu mereka dijuluki kaum putih dan kaum jenggot.
Seperti gerakan Islam lainnya, gerakan Al-Idrisiyyah ini pun tak luput dari pengawasan ketat pemerintah kolonial Belanda. apalagi ajarannya memiliki kemiripan dengan ajaran Thariqat Sanusiyah di AIjazair yang di tuduh marongrong kekuasaan kolonial Perancis. "Syekh dan pengikut-pengikutnya itu merupakan musuh sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda, sekurang‑kurangnya sama bahayanya dengan orang-orang golongan Sanusi terhadap kekuasaan Perancis di AIjazair." tulis Snouck Hurgronje soperti dikutip Delliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indoensia. (LP3ES. 1980. hal 29).
Pada masa pendudukan Jepang Thariqat Al-Idrisiyah malancarkan sikap non-kooperatif dengan Jepang. Akibatnya, pemimpinnya, Abdul Fattah, harus mendekam di tahananan Jepang selama 10 bulan.

Setelah Cidahu dianggap sudah tak 'memadai lagi untuk mengembangkan ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah, maka pada 1947 pusat gerakan Thariqat ini dipindahkan ke desa Pagendingan Cisayong. De­ngan memanfaatkan tanah warisan istrinya, dibangunlah sebuah mesjid dan beberapa pemondokan bagi santri laki‑laki. Ketika maletusnya pemberontakan DI/TII para anggota Thariqat ini terlibat aktif dalam usaha penumpasan pemberontakan tersebut. 'Kemudian pada tahun 1969 nama pesantren Pagendingan diubah menjadi pesantren Fat‑hiyyah, nama yang dihubungkan dengan Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah, sang pembawa Thariqat Al-Idri­siyyah ke Indonesia. Hingga sekarang pesantren Fat-hiyyah ini merupakan pusat pengembangan ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah di bawah pimpinan Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan, putra Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah.[4]

Beberapa Pokok Ajarannya

Yang menarik dari ajaran Thariqat ini, penafsirannya terhadap kaidah‑kaidah hukum Islam. Seperti diketahui kaidah-kaidah fiqih yang berkembang hingga sekarang dan merupakan pedoman hukum Islam dalam aturan peribadatan, pada umumnya dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

Hukum wajib adalah perintah Allah yang jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan berdosa. Kebalikannya adalah haram, yaitu yang berpahala ditinggalkan dan berdosa jika diperbuat. Sedangkan, sunnah adalah jika dikerjakan mendapat pahala tetapi jika ditinggalkan tidak mendapat apa-apa. Adapun makruh, jika dikerjakan tidak mendapat apa-apa, ditinggalkan berpahala.

Formula kaidah‑kaidah hukum seperti dalam pengertian di atas menurut ajaran Al-Idrisiyyah kurang tepat, bahkan keliru. Seharusnya adalah baik sunnah apalagi wajib keduanya harus dikerjakan, begitu juga dengan haram dan makruh keduanya harus ditinggalkan. Hukum mubah berada di tengah tergantung pada niat dan tujuan mengerjakannya. Yang membedakan wajib‑sunnah, haram-makruh hanyalah kadar sanksi dan imbalannya.
Kaidah-kaidah ini menjadi utama dalam ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah, karena sangat berkaitan erat dengan kesaksian pernyataan keimanan seseorang seperti terkandung dalam dua kalimah syahadat.

Menurut ajaran Thariqat Al-Idrisiyah, kesaksian yang mengatakan "Tiada Sembahan selain Allah" itu mengandung arti kesediaan untuk melaksanakan segala yang diperintahkanNya (wajib) dan meninggalkan apa yang dilarang‑Nya (haram), kemudian diikuti dengan kesaksian selanjutnya 'Dan Muhammad adalah utusan Allah" yang mengandung arti bahwa setiap apa yang diperbuatnya (sunnah) dan yang diperintahkannya, menjadi panutan juga.

Konsekuensi logis dari konsep ini adalah baik wajib atau pun sunnah, begitu juga halnya haram atau makruh, adalah kategori-kotegeri hukum yang ketat ditaati, sebab bila tidak, misalnya perintah‑perintah yang nilai hukumnya hanya sunnah, tapi tidak dikerjakan maka posisi keimanan yang berkaitan dengan “Dan Muhammad adalah utusan Allah" menjadi berubah, dan dengan demikian syahadatnya menjadi kurang sempurna.

Dasar pemikiran yang bersumber dari hukum fiqih, ini secara positif telah menjadi motivatisi untuk memperbanyak amalan yang dilakukan setiap anggota jemaah tarikat Al-Idrisiyah ini. Beberapa rumusan yang menentukan suatu perkara serta hukumnya, seperti hukum merokok. masalah pakaian, masalah dzikir telah dirumuskan dan menjadi doktrin panutan.

Selain doktrin yang didasarkan pada hasil rumusan semacam itu, ada juga yang sifatnya sudah jelas hukumnya, seperti shalat sunnat. Hampir semua jenis shalat sunat dilaksanakan setiap saat, terutama sunat Qabliyah, Ba'diyiah, Tasbih, Sujud Syukur dan sunat Hajat. Untuk Shalat Isya ditutup dengan witir, sedang shalat subuh diteruskan dengan dzikir hingga tiba waktu shalat ‘Isyraq.