Rabu, 03 Juni 2009

Pokok-Pokok Ajaran

Al-Idrisiyyah adalah aliran Thariqat yang didirikan Sayyid Ahmad bin Idris Al‑Fasi (w. 1253) yang memperoleh pelajaran tasawufnya dari Sayyid Abdul Wahhab At-Tazi (w. 1131 H.), seorang sufi reformer berasal dari Afrika. Abdul Wahhab At‑Tazi ini juga guru dari Sayyid Muhammad Ali As‑Sanusi Al-Kabir (orang Barat menyebutnya the Grand Sanusi). Pendiri Thariqat Sanusiyah. Karenanya tak mengherankan jika antara kedua Thariqat ini terdapat banyak kesamaan terutama dalam ajaran-ajarannya. Sebab kedua Thariqat ini berasal dari guru yang sama.

Ada baberapa nama diberiken kepada aliran Thariqat ini. Terkadang disebut Al-Idrisiyyah, nama yang dihubungkan dengan Sayyid Ahmad bin Idris, namun sering pula disebut Khidiriyyah, nama yang dikaitkan kepada Nabi Khidir As[1]. Bahkan, Sayyid Muhammad Ali As-Sanusi dalam bukunya Al-Manhalu Ar‑Raawii Ar-Raaiqu fii Asaanidi Al-'Ulum wa Ushuuli At‑Thariiq menyebut Thariqat ini Muhammadiyah juga ada pula catatan yang menyebut Thariqat ini Ahmadiyah[2], nama yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Idris.

Sebagaimana Thariqat Sanusiyah, Thariqat Al-Idrisiyah pun punya banyak pengikut terutama di daerah Afrika seperti Tunisia, Libia, Yaman dan sebagainya serta daerah‑daerah lainnya dan seperti Saudi Arabia, Mesir, dan lain‑lain. Adalah para jemaah haji yang sekaligus memperdalam Ilmu agama di Makkah yang sangat besar peranannya dalam penyebaran Thariqat ini. Ini terjadi karena dalam + 36 tahun Ahmad bin Idris menjadi guru di Makkah yang setiap kali mengajar selalu di ikuti banyak murid berasal dari berbagai daerah.

Di Indonesia, Thariqat Al-Idrisiyyah nampaknya kurang popular jika dibanding dengan Thariqat‑Thariqat lainnya, seperti Tarikat Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syadziliyyah, Samaniyah, Tijaniah, Sanusiyyah, atau Rifa’iyah. Dalam literatur-literatur Indonesia, Thariqat ini jarang dibicarakan. Buku Pangantar llmu Thariqat (Bulan Bintang, 1985) karangan Prof. H. Abubakar Atjeh misalnya, hanya sedikit menyinggung Thariqat ini. Itupun tak secara spesifik, melainkan dimasukkan dalam pembahasan mengenai Thariqat Sanusiyah. Padahal, Thariqat‑Thariqat lainnya dibahas secara cukup panjang lebar.

Masuknya Thariqat Al-Idrisiyyah ke Indonesia terjadi sekitar 1930-an, oleh Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah sebagai pembawanya. la lahir di desa Cidahu, Tasikmalaya, pada 1884 M/1303 H. dan merupakan anak ke‑3 dari 10 orang bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syarif bin Umar dan H. Rafi’ah binti Jenah. Nenek moyangnya tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa, yaitu Sunan Derajat.

Suatu hari guru dari Abdul Fatah Haji Suja'i. membahas Surat Kahfi ayat ke- 17, yang artinya "Barang siapa mengambil petunjuk Allah, maka dia akan mendapat petunjuk dan barang siapa yang tersesat (jalannya), maka tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang memberi petunjuk kepadanya." Abdul Fattah bertanya siapakah yang dimaksud waliyyan mursyida dalam ayat itu, dan apakah gurunya termasuk "waliyyan mursyida". "Bila Ingin mendapatkannya sebaiknya segeralah engkau berangkat untuk mencarinya," jawab sang guru.
Sejak itu Abdul Fattah izin sekaligus mencari orang yang disebut "waliyyan mursyida". Maka, pada 1924 Abdul Fattah sekeluarga berangkat ke Tanah Suci. Namun, sampai di Singapura kapal yang ditumpanginya mengalami kerusakan. Mereka Ialu menetap di sana selama beberapa tahun. Barulah pada 1928, ia dapat melanjutkan perjalanannya ke Makkah. Sampailah ia di Jabal Abu Qubais[3] dan di tempat ini ia berguru kepada Syekh Ahmad Syarif Sanu­si. Dari Syekh inilah ia memperoleh ilmu Thariqat yang dikembangkan oleh Ahmad bin ldris, dengan mendapatkan kepercayaan penuh (mandat kekhalifahan) untuk membawa ajaran ini ke Indonesia.

Sekembalinya di Indonesia Abdul Fattah mengembangkan Thariqat ini. Mula-mula di daerah Jakarta, Ialu di Cidahu, Tasikmalaya. Di Cidahu ini dengan cepat ajaran Thariqatnya dikenal. Salah satu yang membuat kelompok Thariqat ini cepat dapat perhatian, mungkin karena cara berpakaian yang menyerupai orang-orang Arab, yaitu pakaian serba putih serta berjenggot. Karena Itu mereka dijuluki kaum putih dan kaum jenggot.
Seperti gerakan Islam lainnya, gerakan Al-Idrisiyyah ini pun tak luput dari pengawasan ketat pemerintah kolonial Belanda. apalagi ajarannya memiliki kemiripan dengan ajaran Thariqat Sanusiyah di AIjazair yang di tuduh marongrong kekuasaan kolonial Perancis. "Syekh dan pengikut-pengikutnya itu merupakan musuh sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda, sekurang‑kurangnya sama bahayanya dengan orang-orang golongan Sanusi terhadap kekuasaan Perancis di AIjazair." tulis Snouck Hurgronje soperti dikutip Delliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indoensia. (LP3ES. 1980. hal 29).
Pada masa pendudukan Jepang Thariqat Al-Idrisiyah malancarkan sikap non-kooperatif dengan Jepang. Akibatnya, pemimpinnya, Abdul Fattah, harus mendekam di tahananan Jepang selama 10 bulan.

Setelah Cidahu dianggap sudah tak 'memadai lagi untuk mengembangkan ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah, maka pada 1947 pusat gerakan Thariqat ini dipindahkan ke desa Pagendingan Cisayong. De­ngan memanfaatkan tanah warisan istrinya, dibangunlah sebuah mesjid dan beberapa pemondokan bagi santri laki‑laki. Ketika maletusnya pemberontakan DI/TII para anggota Thariqat ini terlibat aktif dalam usaha penumpasan pemberontakan tersebut. 'Kemudian pada tahun 1969 nama pesantren Pagendingan diubah menjadi pesantren Fat‑hiyyah, nama yang dihubungkan dengan Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah, sang pembawa Thariqat Al-Idri­siyyah ke Indonesia. Hingga sekarang pesantren Fat-hiyyah ini merupakan pusat pengembangan ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah di bawah pimpinan Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan, putra Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah.[4]

Beberapa Pokok Ajarannya

Yang menarik dari ajaran Thariqat ini, penafsirannya terhadap kaidah‑kaidah hukum Islam. Seperti diketahui kaidah-kaidah fiqih yang berkembang hingga sekarang dan merupakan pedoman hukum Islam dalam aturan peribadatan, pada umumnya dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

Hukum wajib adalah perintah Allah yang jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan berdosa. Kebalikannya adalah haram, yaitu yang berpahala ditinggalkan dan berdosa jika diperbuat. Sedangkan, sunnah adalah jika dikerjakan mendapat pahala tetapi jika ditinggalkan tidak mendapat apa-apa. Adapun makruh, jika dikerjakan tidak mendapat apa-apa, ditinggalkan berpahala.

Formula kaidah‑kaidah hukum seperti dalam pengertian di atas menurut ajaran Al-Idrisiyyah kurang tepat, bahkan keliru. Seharusnya adalah baik sunnah apalagi wajib keduanya harus dikerjakan, begitu juga dengan haram dan makruh keduanya harus ditinggalkan. Hukum mubah berada di tengah tergantung pada niat dan tujuan mengerjakannya. Yang membedakan wajib‑sunnah, haram-makruh hanyalah kadar sanksi dan imbalannya.
Kaidah-kaidah ini menjadi utama dalam ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah, karena sangat berkaitan erat dengan kesaksian pernyataan keimanan seseorang seperti terkandung dalam dua kalimah syahadat.

Menurut ajaran Thariqat Al-Idrisiyah, kesaksian yang mengatakan "Tiada Sembahan selain Allah" itu mengandung arti kesediaan untuk melaksanakan segala yang diperintahkanNya (wajib) dan meninggalkan apa yang dilarang‑Nya (haram), kemudian diikuti dengan kesaksian selanjutnya 'Dan Muhammad adalah utusan Allah" yang mengandung arti bahwa setiap apa yang diperbuatnya (sunnah) dan yang diperintahkannya, menjadi panutan juga.

Konsekuensi logis dari konsep ini adalah baik wajib atau pun sunnah, begitu juga halnya haram atau makruh, adalah kategori-kotegeri hukum yang ketat ditaati, sebab bila tidak, misalnya perintah‑perintah yang nilai hukumnya hanya sunnah, tapi tidak dikerjakan maka posisi keimanan yang berkaitan dengan “Dan Muhammad adalah utusan Allah" menjadi berubah, dan dengan demikian syahadatnya menjadi kurang sempurna.

Dasar pemikiran yang bersumber dari hukum fiqih, ini secara positif telah menjadi motivatisi untuk memperbanyak amalan yang dilakukan setiap anggota jemaah tarikat Al-Idrisiyah ini. Beberapa rumusan yang menentukan suatu perkara serta hukumnya, seperti hukum merokok. masalah pakaian, masalah dzikir telah dirumuskan dan menjadi doktrin panutan.

Selain doktrin yang didasarkan pada hasil rumusan semacam itu, ada juga yang sifatnya sudah jelas hukumnya, seperti shalat sunnat. Hampir semua jenis shalat sunat dilaksanakan setiap saat, terutama sunat Qabliyah, Ba'diyiah, Tasbih, Sujud Syukur dan sunat Hajat. Untuk Shalat Isya ditutup dengan witir, sedang shalat subuh diteruskan dengan dzikir hingga tiba waktu shalat ‘Isyraq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar