Kamis, 04 Juni 2009

Hukum Mencium Tanga dan Mencari Berkah


Banyak pertanyaan orang tentang hukum mencium tangan, khususnya belakangan ini. Banyak yang mengikuti hawa nafsu dan berpendapat yang tidak didukung oleh ilmu secara benar. Orang-orang yang meneliti hakikat dan kembali kepada hadis-hadis sahih yang berasal dari Sunnah yang suci, atsar dari para sahabat yang mulia dan perkataan para imam dan ulama’ yang ‘amilin menemukan bahwa mencium tangan para ulama, orang-orang soleh dan kedua orang tua dibolehkan secara syar’i, bahkan hal itu merupakan penampilan adab Islami yang menunjukkan penghargaan kepada orang-orang yang bertakwa.
Nash-nash sahih yang menetapkan hal itu terdapat dalam Sunnah yang mulia, perkataan para sahabat dan lain-lain.
Dari hadis suci di antaranya adalah berasal dari Safwan bin A’sal, katanya :‘Seorang Yahudi berkata kepada kawannya, ‘Marilah kita pergi kepada Nabi itu.’ Lalu mereka datang kepada Rasulullah dan bertanya tentang sembilan ayat bayyinah dan seterusnya dikatakan: ‘... Lalu keduanya mencium tangan dan kaki Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah (Utusan Allah).’ ( Hadis riwayat Imam Ahmad dan At Tirmizi dan di tashih oleh An Nasai dan lain-lain).
Dan diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ummu Aban binti Al Waza’ bin Zara’ dari datuknya, Zara’ dan dia adalah utusan Abdul Qais, katanya: ‘Lalu kami cepat-cepat menuju ke kendaraan kami setelah mencium tangan dan kaki Rasulullah.’ Seperti yang telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqi sebagaimana tercantum di dalam Sirah As Syamiyah.
Di dalamnya: ‘…kemudian datanglah Munzir Al-Asyaj meraih tangan Rasulullah dan menciumnya, dan dia adalah pemimpin para utusan.’
Di dalam Syarah Al-Bukhari bagi Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani dikatakan bahwa Abu Lubabah, Ka’ab bin Malik beserta kedua kawannya mencium tangan Rasulullah ketika mereka bertaubat kepada Allah.
Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunannya beserta sanad bahwa Abdul Rahman bin Abi Laila bercerita bahwa Abdullah bin Umar r.a. menceritakan kisah itu dan berkata: ‘…lalu kami mendekatinya dan lalu kami mencium tangannya.’ (Hadis riwayat At Tirmizi dan Ibnu Majah. Al-Tirmizi berkata hadis tersebut hasan.)
Imam Ahmad mengeluarkan di dalam kitabnya, Thulathiyat : ‘Dari Sufyan bin Uyainah dari Ali bin Zaid bin Jud’an, katanya: ‘Tsabit Al-Banani berkata kepada Anas bin Malik Radiallahu‘anhu dan Ibnu Jud’an mendengar: ‘Hai Anas, apakah engkau menyentuh Rasulullah dengan tanganmu?’ Anas menjawab kepada Tsabit: ‘Benar, aku menyentuh Rasulullah dengan tanganku.’ Tsabit berkata: ‘ Tunjukkan bagaimana aku menciumnya.’
Dan dita’liq oleh Syeikh Muhammad Al-Asfariyani Al-Hambali lalu dikatakan: Berkatalah guru besar Ibnu Muflih di dalam kitab Adabul Kubra: ‘Diperkenankan berpelukan dan mencium tangan serta kepala di dalam agama sebagai penghargaan dan penghormatan dan penampakannya tidak diperkenankan untuk urusan dunia.’
Al-Maruzi berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdullah, yakni Imam Ahmad r.a. tentang mencium tangan, lalu dia menjawab: ‘Kalau dilakukan untuk tujuan agama maka tidak apa-apa. Abu Ubaidah pernah mencium tangan Umar bin Khattab. Kalau untuk tujuan duniawi, janganlah dilakukan, melainkan seseorang takut karena pedang dan cemetinya.’
Tamim bin Salamah, seorang tabi’i, berkata : ‘Ciuman itu sunnah.’
Al-Imam Ibn Taimiyah berkata: ‘Mencium tangan tidak dijadikan sebagai kebiasaan kecuali sedikit.’
Para sahabat mencium tangan Rasulullah dan para ulama’ memberi izin, misalnya Imam Ahmad dan lain-lain, atas dasar agama.
Al-Hasan Al-Basri r.a. berkata: ‘Mencium tangan seseorang yang adil merupakan satu bentuk ketaatan.’
Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: ‘Ciuman kedua orang tua atas anaknya adalah rahmat, ciuman anaknya atas tangan kedua orang tua adalah ibadat, ciuman wanita adalah syahwat, ciuman atas seseorang kepada sahabatnya adalah agama.’ (Lihat Thulathiyat Imam Ahmad).
Ditanyakan kepada Asy-Syeikh Muhammad Abid Al-Anshari: ‘Apakah tertera di dalam hadis bahwa para sahabat mencium tangan Rasulullah yang mulia, atau kepalanya atau kakinya yang suci atau bahagian-bahagian tubuh lainnya yang suci?’
Dia menjawab: ‘Ciuman secara mutlak, baik atas kepala, tangan, mata ataupun anggota tubuh yang lain tidak sepi dari syahwat. Adapun ciuman yang bersyahwat adalah jelas pengharamannya, kecuali ciuman terhadap isteri atau orang yang halal baginya.’
‘Sedangkan ciuman yang menandakan kecintaan atau kasih sayang seperti ciuman orang tua kepada anaknya adalah dibolehkan, misalnya ciuman Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam terhadap perut Al-Hasan, ciuman Abu Bakar As-Siddiq ke pipi ‘Aisyah Ummul Mukminin ketika puterinya sedang sakit panas.’ ( Hadis riwayat Abu Daud).
Berikutnya adalah ciuman yang menunjukkan kasih sayang, di antaranya ciuman Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Jaafar bin Abi Thalib r.a. di antara kedua matanya. ( Hadis riwayat Abu Daud Al Baihaqi di dalam kitab Sya’bil Iman)
Adapun ciuman yang dimaksudkan untuk mengagungkan seseorang tidak dibolehkan kecuali bagi seorang ‘alim, guru, penguasa yang adil, seseorang yang memiliki kehormatan agama, atau penghargaan terhadap Rasulullah s.a.w. Selain dari itu dianggap haram dan tidak ada dalam syariat. Tidak ada nas yang menjelaskannya kecuali apa yang telah disebutkan.
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk mengingkari perbuatan cium tangan adalah salah satu dari yang telah disebutkan karena banyak dalil yang kuat menjelaskan para sahabat mencium tangan dan kaki Rasulullah s.aw.
Di antaranya adalah yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Al-Bukhari dari Zara’ Radiallahu‘anhu, dan dia adalah utusan Abdul Qais. Katanya: ‘Ketika tiba di Madinah, kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu mencium tangan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.’
Dikeluarkan pula oleh Abu Daud di dalam Sunannya dari hadis Abdullah bin Umar Radiallahu‘anhu yang telah menceritakan kisahnya berkata: ‘Lalu kami mendekati Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam dan mencium tangannya.’
Juga dikeluarkan oleh Abu Daud r.a. dari Aisyah Radiallahu‘anha: ‘Sesungguhnya Fatimah Radiallahu‘anha, apabila Rasulullah datang ke rumahnya (Fatimah), beliau menyambut tangannya dan menciumnya.”
Diriwayatkan oleh At-Thabrani dari Ka’ab bin Malik Radiallahu‘anhu bahwasanya sewaktu berdekatan dengan Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam, dia mengambil tangan Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam dan menciumnya.
Dikeluarkan pula oleh At-Tirmizi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dari Safwan : ‘Sesungguhnya orang-orang Yahudi mencium tangan Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam dan kakinya.’ (At-Tirmizi berkata: ‘Hadis ini hasan dan sahih.’)
Dikeluarkan oleh Al-Hakim dan dibenarkan di dalam Mustadrak dari Buraidah: ‘Sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam lalu mencium kepala dan kakinya.’
Sekiranya ada di antara para sahabat yang mencium kaki dan tangan Rasulullah dalam suatu keadaan, maka ini merupakan dalil yang kuat tentang dibolehkan mencium tangan orang alim, penguasa yang adil, orang terhormat dan mencium kakinya juga. Sebab hal itu terjadi pada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, yang di dalam dirinya terkumpul semua kebajikan yang murni, manaqib yang terpuji dari ilmu ladunni dan paling tinggi kedudukannya dalam amanah dan kemuliaan nasabnya. Tidak ada yang menyamainya dalam salah satu perbuatan dan tanda-tandanya yang khusus.
Kita menilai dari masing-masing tanda khusus itu tentang diperkenankan mencium tangan seseorang yang diagungkan oleh Allah dengan salah satu dari tiga tanda khusus, misalnya secara umum dengan firman Allah s.w.t. :‘Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik.’ ( Al-Ahzab : 21 )
Dan firman Allah secara umum :‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi kamu.’ ( Ali Imran : 31)
Dan firman Allah secara umum: 'Dan apa jua perintah yang di bawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu, maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarangnya kamu melakukannya maka patuhilah larangannya.’ ( Al-Hasyr :7 )
Di dalam hadis berikut tidak dikatakan bahwa cium tangan itu dikhususkan bagi Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.
At-Tirmizi mengeluarkan dengan sanad hasan dari Anas bin Malik Radiallahu‘anhu, katanya: “Telah datang seseorang kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, jika seseorang bertemu dengan kawannya atau saudaranya, adakah dia harus membungkuk kepadanya?’
Baginda menjawab: ‘Tidak.’ Tanyanya lagi: ‘Bolehkah memeluk dan menciumnya?’ Baginda menjawab: ‘Tidak.’ Tanyanya lagi: ‘Bolehkah memegang tangannya untuk bersalaman?’ Baginda menjawab: ‘Ya.’
Saya ingin mengatakan bahwa hadis ini boleh digunakan untuk orang yang tidak ‘alim dan orang-orang yang tidak boleh kita cium tangannya sebagaimana yang telah dijelaskan. Saya mengatakan hal itu karena ada ketetapan dalam hal itu yaitu Zaid bin Haritsah ketika datang ke Madinah dipeluk oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian dia mencium tangan Baginda. (Hadis riwayat At- Tirmizi).
Ada pula penjelasan tentang Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam yang mencium pipi Abu Bakar As- Siddiq Radiallahu‘anhu setelah memeluknya ketika dia datang. Saat itu Ali berdiri menyertai Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, maka Ali Radiallahu‘anhu bertanya: ‘Anda mencium bibir Abu Bakar?’ Baginda menjawab: ‘ Wahai Abul Hasan, kedudukan Abu Bakar di sisiku adalah seperti kedudukanku disisi ayahku.’
Berita tersebut menjelaskan bahwa ciuman Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya merupakan pengecualian. Dan perkara tersebut berasal dari Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, bukan hanya cerita-cerita di antara kita.
Maka boleh dikatakan bahwa tindakan para sahabat yang mencium tangan dan kaki Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam itu merupakan satu pengecualian, begitulah juga pelukan dan ciuman Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatsahabatnya.
Maka dari mana datangnya dalil bahwa mencium orang ‘alim dan berkedudukan itu diperintahkan atau diperbolehkan? Hal itu tidak difahami dan tidak berlaku kecuali berdasarkan kepada hadis-hadis yang menunjukkan bahwa para sahabat melakukan perbuatan itu di antara mereka dan tidak ada yang mencela hal tersebut.
Pendapat lain adalah bahwa pengecualian itu tidak menutup ihtimal. Apa yang dilakukan oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam boleh dianggap sebagai pengecualian selama tidak ada ketetapan tentang dalil yang mensyariatkannya.
Ini merupakan khilafiyah dalam memandang firman dan kalam Allah, serta khilafiyah dari sudut pandangan ulama muhaqqiqun dari ulama ahli ‘aql dan nuqul.
Bahwa sesungguhnya golongan yang melarang ciuman hanya berlandaskan kepada pemikiran bahwa hal itu merupakan bentuk pengagungan kepada selain Allah, sedangkan pengagungan kepada selain Allah adalah haram.
Seandainya hal itu benar, maka Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama untuk disucikan dari larangan itu. Sebab disamping itu ada dalil-dalil yang jelas bahwa para sahabat melakukannya di antara mereka tanpa ada yang mencela dan mengingkarinya.
Ini termasuk yang dikeluarkan oleh At-Thabrani dari Yahya bin Al-Haris yang berkata: ‘Aku bertemu Watsilah bin Al Asqa’ lalu bertanya: ‘Apakah engkau berbai’at kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dengan tanganmu?’ Dia menjawab: ‘Ya.’ Aku mengatakan: ‘Ulurkanlah tanganmu, aku akan menciumnya.’ Itulah yang kulakukan.’
Al-Haitsami berkata bahwa orang yang mendukung hadis tersebut dipercayai.
At-Thabari menukil di dalam kitabnya, Ar Riyadhun Nadhirah, dari Abi Raja’ Al-Atharidi, dia berkata: ‘Aku masuk ke Madinah dan melihat orang-orang sedang berkumpul. Ku lihat seseorang datang lalu mencium kepala seorang yang lain seraya berkata: ‘Aku berkorban untukmu. Kalau tidak karena engkau, maka aku akan binasa.’ Maka aku bertanya : ‘Siapakah yang mencium dan siapakah yang dicium itu?’ Dijawab : ‘Itu adalah Umar Radiallahu‘anhu yang mencium Abu Bakar As Siddiq Radiallahu‘anhu yang memerangi Ahli Riddah yang menolak membayar zakat, sampai mereka datang dengan penuh kepasrahan dan tunduk.’
Al-Hafiz menukil di dalam kitab Al-Ishabah dari Asy-Sya’bi, katanya: ‘Aku meninggalkan Zaid bin Thabit ketika Ibn Abbas memegang pemacu kudanya. Maka Zaid bin Tsabit berkata :‘Jangan engkau lakukan hal itu, wahai putera bapa saudara Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia menjawab: ‘Beginilah kita diperintahkan untuk berbuat kepada ulama-ulama kita.’ Maka Zaid menerima, lalu mencium tangan Ibn Abbas dan berkata pula: ‘Beginilah kita diperintahkan untuk berbuat kepada keluarga Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.’
Hadis-hadis tersebut menjelaskan bahwa para sahabat tidak mengingkari ciuman. Lebih dari itu kata-kata Zaid bin Tsabit: ‘Beginilah kita diperintahkan…’ sampai habis menunjukkan bahwa mencium tangan orang yang memiliki kehormatan diperintahkan oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam sebab kata-kata sahabat: ‘Beginilah kita diperintahkan’ memiliki hukum meninggikan apabila dilakukan terhadap selain Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam.
Para ulama termasuk dalam kategori orang yang boleh dicium tangannya tanpa ada kesombongan satu atas yang lain, dan tidak ada perselisihan dalam hal ini.
Diriwayatkan bahwa Sufyan berkata: ‘Mencium tangan para ulama dan penguasa yang adil adalah sunnah.’ Maka Abdullah bin Mubarak bangkit dan mencium kepala Sufyan seraya berkata: ‘Siapa yang lebih baik dari ini selain engkau.’
Adapun kisah Muslim bin Al-Hajjaj yang mencium Al-Bukhari di antara kedua matanya dan ingin pula mencium kakinya. Berita tentang hal ini masyhur.
Di antara yang menyetujui ciuman bagi seorang ‘alim adalah apa yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari tentang Abu Bakar As-Siddiq Radiallahu‘anhu yang mencium Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam, setelah wafatnya, serta Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam yang mencium Utsman bin Mazh’un setelah meninggalnya.
Para imam, mengambil hikmah dari perbuatan itu untuk membolehkan mencium mayat.
Maka kalau mencium mayat dibolehkan, bagaimana sangkaan orang yang menentang ciuman orang ‘alim yang masih hidup, yang ajarannya bagi manusia tentang soal agama kita manfaatkan, sedangkan kita juga tidak mencium kecuali untuk mengagungkan ilmunya yang suci?
Kita kembali kepada hadis-hadis suci yang sahih dan atsar yang mantap untuk mengambil dalil tentang dibolehkan mencium. Soal ini tertera didalamnya dan tidak diragukan cahaya kebenarannya.
Al-Bukhari mengeluarkan di dalam kitab Adabul Mufrad tentang riwayat Abdul Rahman bin Razin, katanya: ‘Salamah bin Al-Akwa mengeluarkan tangannya yang besar seperti telapak tangan unta. Maka kami bangkit dan menciumnya.’ (Dikeluarkan oleh Ibn Hajar Al-Asqalani di dalam kitab Fathul Bari).
Dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya dengan sanad dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radiallahu‘anha, bahwa ia berkata: ‘Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling mirip dengan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dalam diamnya, tunduknya dan hidayahnya kecuali Fatimah Radiallahu‘anha. Apabila dia masuk, maka Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menyambutnya, memegang tangannya dan menciumnya, lalu mendudukkannya di tempat duduk. Dan kalau Baginda masuk, maka Fatimah Radiallahu‘anha akan menyambutnya, memegang tangannya dan menciumnya, lalu mendudukkannya di tempat duduk.’
(Berkatalah penulis Aunul Ma’bud bahwa maksudnya adalah mencium anggota tubuhnya yang suci dan bersih yaitu tangan yang paling mulia).
At-Tirmizi mengeluarkan dari Aisyah Radiallahu‘anha, katanya: ‘Zaid bin Harithah datang ke Madinah ketika Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumahku. Maka Baginda menyambutnya sewaktu dia mengetuk pintu.Baginda berlari dengan menyinsingkan bajunya, kemudian memeluk dan menciumnya.’ (At-Tirmizi berkata bahwa hadis ini hasan)
Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunannya dengan sanad dari Al-Barra bin Azib Radiallahu‘anhu, katanya: ‘Aku bersama Abu Bakar As-Siddiq Radiallahu‘anhu adalah orang pertama yang masuk Madinah. ‘Aisyah Radiallahu‘anha, puterinya, sedang berbaring karena sakit panas. Maka Abu Bakar As-Siddiq
Radiallahu‘anhu menghampirinya dan bertanya: ‘Bagaimana keadaanmu, wahai puteriku?’ seraya mencium pipinya.’
Ali Mala Al-Qary menta’liq hadis ini dan berkata: ‘Mencium pipi adalah untuk marhamah dan mawaddah atau pemeliharaan atas Sunnah.’
Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunannya dengan sanad dari Abu Hurairah Radiallahu‘anhu yang berkata: ‘Sesungguhnya Al-Aqra bin Habis melihat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam mencium Hussein, lalu berkata:‘Aku memiliki sepuluh orang anak, tetapi aku tidak pernah melakukannya (ciuman) atas satupun dari mereka.’ Maka Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Barangsiapa tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.’ (Hadis riwayat Al Bukhari, Muslim dan At Tirmizi)
Al-Bukhari dan Muslim dan Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunan mereka dengan sanad dari ‘Urwah dari ‘Aisyah Radiallahu‘anha, katanya: Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Ada berita gembira bagimu, wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah telah menurunkan firmanNya tentang kesucianmu.’ Kemudian Baginda membaca ayat Al-Quran Al-Karim tentang persoalan Aisyah Radiallahu‘anha.’ Ayah bondaku berkata : ‘Bangunlah wahai Aisyah dan ciumlah kepala Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. ‘Maka aku berkata : ‘Aku bertahmid kepada Allah bukan kepada kamu.’ (Hadis riwayat Al Bukhari, Muslim dan Abu Daud)
Seandainya keduanya menolak ciuman, tentunya Abu Bakar As-Siddiq Radiallahu‘anhu tidak akan menyuruh Aisyah Radiallahu‘anha untuk mencium kepala Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. Sementara itu, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga berdiam diri mendengar kata-kata Abu
Bakar As-Siddiq Radiallahu‘anhu. Diamnya Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pengakuan dan ketetapan dan ia termasuk Sunnah yang suci.
Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunannya dengan sanad dari Abdul Rahman bin Abi Laila dari ‘Usaid bin Hudhair Radiallahu‘anhu, bahwa dia sedang berbincang dan bergurau di antara mereka ketika Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam menyodok perutnya dengan sesuatu. Maka dia berkata: ‘Aku akan menuntut balas.’ Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Kalau engkau hendak membalasku, lakukan saja.’
Dia berkata : ‘Tetapi engkau berpakaian sedangkan aku tidak berpakaian.’ Maka Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam membuka pakaiannya, kemudian ‘Usaid memeluk dan menciumnya (antara perut dengan tulang rusuk bahagian bawah). Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam kehairanan. ‘Usaid lalu berkata : ‘Yang ku inginkan adalah hal ini, wahai Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam .’
Dari Jamilah, ibu dari putera Anas bin Malik, katanya: ‘Sesungguhnya apabila Thabit mengunjungi Anas, maka Anas berkata : ‘Hai Jariyah, bawakan kemari minyak wangi untuk menggosok tanganku, sebab kalau Thabit datang kemari, dia tidak mahu mencium tanganku.’ (Hadis riwayat Abu Ya’la dan orang-orangnya dapat diandalkan).
Abu Daud mengeluarkan di dalam Sunannya dengan sanad dari Ummu Aban binti Al Waza’ bin Zara’ dari datuk Zara’, utusan Abdul Qais berkata: ‘Ketika datang ke Madinah, kami bergegas turun dari kendaraan kami untuk mencium tangan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dan kakinya.’ Al-Asyja Munzir menanti sampai Uyainah datang dan memakai bajunya, lalu datang kepada Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam. Baginda berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua hal yang disukai Allah dan RasulNya, yaitu kebijaksanaan dan ketenangan.’ Dia menjawab: ‘Wahai Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, aku memiliki dua sifat itu ataukah Allah yang menjadikanku memiliki kedua sifat itu?’ Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : ‘Benar, Allah menjadikanmu memiliki kedua sifat itu.’ Dia menjawab: ‘Segala puji bagi Allah yang menciptakanku dengan dua sifat yang disenangi oleh Allah dan RasulNya.’ (Dikeluarkan oleh Abu Qasim Al-Baghawi di dalam kitabnya, Majma’ Ash-Shahabah dan Aunul Ma’bud)
Sebabnya adalah sebagaimana disebutkan oleh penulis Syarah Al-Misykah: ‘Dia sebagaimana Abdul Qais bergegas turun dari kendaraan hingga terjatuh ke tanah, lalu melakukan apa yang dilakukan dan diakui oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang menjadi pemimpin mereka bernama Al-Asyja. Dia terlebih dulu pulang ke kediamannya, lalu mandi dan mengenakan pakaian putih. Selanjutnya dia masuk ke masjid, solat dua rakaat dan berdoa dengan singkat, barulah berjumpa Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam dengan sikap tunduk, tekun dan lemah lembut. Melihat sikapnya, Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam memuji adabnya: ‘Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua hal yang disukai Allah, yaitu kebijaksanaan dan ketenangan.’
Maksudnya, dia tidak terburu-buru dan halus sikapnya, sehingga terlihat kebaikan dan keteguhannya. Kemudian penulis Aunul Ma’bud menta’liq di dalam hadis tentang dibolehkan mencium kaki.
Al-Hafizh Abu Bakar Al-Ashbahani Al-Mukri menyusun rukhsah-rukhsah dalam mencium tangan. Hal itu disebutkan di dalam hadis Ibn Umar, Ibn Abbas, Jabir bin Abdullah, Buraidah bin Al-Hashib, Safwan bin Asal, Buraidah Al-Abdi, Al Zara’ bin Amir Al-Abdi.
Disebutkan di dalamnya atsar-atsar yang shahih dari sahabat dan tabi’in. Dan disebutkan sebahagian bahwa Imam Malik tidak menyukai hal itu, sedangkan yang lain-lain menyetujuinya.
Dikatakan kepada Al-Abhari: ‘Sebenarnya yang dibenci oleh Imam Malik adalah kalau hal itu dilakukan dengan dasar untuk membesarkan dan mengagungkan. Maka apabila seseorang mencium tangan, wajah atau bahagian tubuh orang lain yang bukan aurat sebagai taqarrub kepada Allah karena agama, ilmu atau kehormatannya, maka hal semacam itu dibolehkan.Mencium tangan Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam juga boleh dianggap taqarrub kepada Allah. Apabila yang dilakukan termasuk penghormatan secara duniawi atau kekuasaan atau syubhat dari kesombongan maka tidak dibolehkan.’
Di antara riwayat yang menyenangkan hati adalah yang terjadi sebagaimana dikeluarkan oleh Al-Baihaqi di dalam Asy-Sya’bi dan Ibnu Asakir dari Abi Rafi’, katanya: ‘Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu memimpin pasukan menuju Rumawi. Di dalam pasukan tersebut ada seorang yang bernama Abdullah bin Huzaifah dari sahabat-sahabat Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang Rumawi berhasil menawannya, lalu dibawa menghadap Kaisar mereka. Kepada si Kaisar dikatakan: ‘Ini adalah salah satu sahabat Muhammad.’ Maka Kaisar berkata: ‘Maukah engkau memeluk agama Nasrani lalu kujadikan sebagai pemimpin di dalam wilayah kekuasaan dan kerajaanku?’
Dia menjawab: ‘Andaikata engkau memberikan seluruh milikmu dan semua yang memiliki bangsa Arab dengan tujuan agar aku keluar dari agama Muhammad, maka sedikit pun tidak akan kulakukan.’
Kata Kaisar: ‘Kalau begitu aku akan membunuhmu.’ Dia menjawab: ‘Silakan saja.’ Kemudian dia diperintahkan untuk disalib, lalu dikatakan kepada orang-orang yang lalu di situ supaya dia dilontari pada dekat tangan dan kakinya. Di samping itu Kaisar terus menawarkan agama Nasrani, tetapi Abdullah menolak. Dia kemudian diturunkan dan dihadapannya diletakkan kuali yang berisi air mendidih. Selanjutnya Kaisar minta dua tawanan Muslimin dan salah satunya diperintahkan untuk dilemparkan ke dalam kuali yang mendidih itu. Sementara si Kaisar terus menawarkan agama Nasrani, namun Abdullah tetap menolak. Akhirnya si Kaisar memerintahkan agar dia dimasukkan ke dalam bekas itu. Dia diseret mendekati kuali itu, Abdullah menangis sehingga si Kaisar merasakan bahwa dia takut. Katanya kemudian: ‘Bawa dia kembali ke mari.’ Lalu kepadanya ditawarkan kembali agama Nasrani, tetapi dia tetap menolak. Kaisar bertanya: ‘Lalu mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab: ‘Aku berkata kepada diriku sendiri, sekarang engkau akan dimasukkan ke dalam kuali dan binasa, padahal aku ingin agar setiap bulu di tubuhku berubah menjadi jiwa-jiwa yang dimasukkan ke dalam kuali di jalan Allah dan karena Allah.’ Maka si Kaisar berkata: ‘Maukah engkau mencium kepalaku, lalu engkau aku bebaskan bersama seluruh tawanan Muslimin?’ Dia menjawab: ‘Baik, bersama seluruh tawanan Muslimin.’ Dia berkata kepada dirinya sendiri: ‘Seorang musuh Allah harus kucium kepalanya untuk membebaskan tawanan Muslimin? Aku tidak peduli.’ Lalu dia mendekati dan mencium kepala si Kaisar. Selanjutnya seluruh tawanan diserahkan kepadanya lalu Abdullah membawa kembali kepada Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu. Setelah dia menceritakan kejadiannya, Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu berkata: ‘Hak bagi setiap Muslim untuk mencium kepala Abdullah bin Huzafah.’ Lalu Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu maju dan mencium kepalanya. (Dari kitab Kunzul Amal dan dicatat oleh Al-Hafizh di dalam terjemahan Al Ishabah dan disebutkan bahwa Al-Baihaqi mengeluarkan dari jalan Dhirar bin Amru dari Rafi’ dan dikeluarkan oleh Ibnu Asakir dengan kesaksian dari hadis Ibnu Abbas).
Berkatalah Ibnu Katsir dalam Tarikhnya di dalam kitab Fathu Baitul Maqdis: ‘Begitu Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu sampai di Syam, dia disambut oleh Abu Ubaidah beserta tokoh-tokoh pemimpin seperti Khalid bin Walid dan Yazid bin Abi Sufyan. Abu Ubaidah turun dari kendaraannya sementara Umar juga turun. Kemudian Abu Ubaidah terlihat hendak mencium tangan Umar sedangkan Umar hendak mencium kaki Abu Ubaidah. Akhirnya Abu Ubaidah menahan diri dan Umar pun menahan diri.’ (Dari kitab Al Bidayah Wan Nihayah)
Al-Hafizh Ibn Jauzy berkata di Manaqib Ashabul Hadis: ‘Seharusnya setiap murid merendahkan dirinya kepada orang alim. Dia harus tunduk dan merendahkan diri dengan mencium tangannya sebagaimana Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin Iyadh. Yang seorang mencium tangan Al-Husain bin Ali Al Ja’fi, sementara seorang lagi mencium kakinya.’ (Lihat Syarah Manzhumatul Adab)
Abu Ma’la di Syarah Al Hidayah berkata: ‘Apabila mencium tangan orang alim dan orang dermawan itu dilakukan untuk menyambutnya, maka hal itu dibolehkan. Namun apabila menciumnya adalah karena kekayaan seorang yang kaya, maka telah diriwayatkan: ‘Maka dia telah melenyapkan sepertiga agamanya.’
Anda sudah tahu bahwa para sahabat mencium tangan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam seperti di dalam hadis Ibn Umar sewaktu terjadinya perang Mu’tah.
Adapun pandangan Imam yang empat di dalam hukum mencium adalah seperti berikut:
Pertama (Ulama Al-Hanafiah), Berkatalah Ibnu Abidin dalam komentarnya tentang kata-kata penulis Ad-Dur yang terpilih: ‘Tidak mengapa mencium tangan seorang alim dan yang sederhana dengan dasar untuk mencari berkah. Dikatakan bahwa hal itu sunnah dan telah diketahui tarikan hadis-hadis tentang sunnahnya atau adabnya sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Aini.’
Di dalam komentar Ath-Thahawi atas kitab Maraqil Falah dikatakan: ‘Telah sangat jelas keterangan bahwa diciumnya tangan orang alim atau penguasa yang adil dibolehkan.’
Dan tertera di dalam hadis yang disebutkan oleh Al-Badrul Aini: ‘…kemudian dikatakan: Dari majmu’ yang kita sebut, mencium tangan dibolehkan.’
Kedua (Ulama Al-Malikiah), Berkatalah Imam Malik Radiallahu‘anhu: ‘Mencium tangan seseorang untuk mengagungkan atau memuliakan adalah makruh. Sedangkan kalau berdasarkan keinginan untuk bertaqarrub kepada Allah karena agamanya atau karena ilmunya dan syariatnya, maka diperbolehkan.’ (Fathul Bari karangan Ibn Hajar Al-Asqalani)
Ketiga (Ulama Asy-Syafi’iyah), Imam An-Nawawi berkata: ‘Mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, kehormatannya atau semacamnya dari masalah agama tidak dibenci, melainkan disenangi. Tetapi kalau mencium tangan seseorang karena kekayaannya, kedudukannya, kekuasaannya atau semacamnya dari masalah duniawi maka itu sangat dibenci.’ (Lihat kitab Fathul Bari)
Keempat (Ulama Hanabilah), Di dalam kitab Ghaza ul Al Albab Syarah Manzhumatul Adab, Al-Asfariyani Al-Hanbali berkata: ‘Al-Maruzi berkata : ‘Aku bertanya tentang hal itu kepada Abu Abdullah(Imam Ahmad bin Hanbal), dia berkata: ‘Kalau hal itu dilakukan atas dasar agama, maka tidak menjadi soal, seperti Abu Ubaidah Radiallahu‘anhu yang mencium tangan Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu. Kalau dilakukan berdasarkan pertimbangan duniawi, maka tidak boleh.’
Maka ditetapkan hukum bahwa ciuman tangan dibolehkan bagi ulama’ dan orang-orang yang soleh dan yang berilmu maupun kedua orang tua. Itu termasuk adab Islami yang dianjurkan. Di dalam kitab fiqh berbagai mazhab menjadi nash dibolehkan mencium tangan mereka itu.
Dinukil oleh ulama fiqh Asy-Syarbini: ‘Disunnahkan bagi seseorang untuk berdiri menyambut ulama dan orang yang utama dalam kebaikan dan kehormatan atau semacam itu, tanpa diikuti riya’ dan pengagungan. Dikatakan di dalam kitab Al-Raudhah: ‘Telah ditetapkan di dalamnya hadis-hadis sahih.’
Imam An-Nawawi memiliki risalah khusus yang berjudul Risalatul Tarkhish Bil Qiyam li Zil Fadhli, yang membolehkan seseorang berdiri untuk menyambut orang yang datang. Dalil tentang hal itu adalah hadis-hadis seperti :
Dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya: ‘Bahwa sesungguhnya Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam duduk-duduk pada suatu hari, kemudian datanglah ayah susuannya. Maka Baginda menghamparkan sebahagian pakaiannya untuk diduduki. Lalu datang pula ibu susuannya, maka dihamparkannya sebahagian pakaian di sisi yang lain. Lalu datang saudara susunya, maka Baginda bangkit untuk menyambut dan mendudukkannya di sampingnya.’
Imam Malik mengeluarkan kisah Ikrimah bin Abi Jahal ketika melarikan diri ke Yaman pada hari Fathu Makkah. Isterinya menyusulnya dan mengajaknya kembali ke Mekah sebagai Muslim. Kedatangannya dilihat oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia disambut dengan gembira dan Baginda memberikan jubahnya kepada Ikrimah.
Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bangkit untuk menyambut Ja’far Radiallahu‘anhu tatkala datang dari Habsyah seraya berkata: ‘Aku tidak tahu apa yang membuatku gembira, kedatangan Ja’far atau kemenangan ke atas Khaibar.’
Di dalam hadis Aisyah Radiallahu‘anha dikhabarkan: ‘Telah datang Zaid bin Haritsah di Madinah, sementara Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumahku. Ketika dia mengetuk pintu, Baginda bangkit dan menyambutnya dengan memeluk dan menciumnya.’
Abu Daud mengeluarkan dari Abu Hurairah Radiallahu‘anhu, katanya: ‘Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam sedang bercerita, kemudian beliau berdiri. Maka kami pun bangkit sampai melihat Baginda benar-benar masuk ke rumahnya.’ (Nash-nash ini merupakan misalan mazhab Syafi’iyah dalam hal berdiri)
Ulama fiqh yang teliti, Ibn Abidin, mengutip ketika penulis Ad-Dur berkata: ‘Boleh berdiri sebagai penghormatan terhadap orang yang datang, sebagaimana boleh berdiri walaupun bagi orang yang sedang membaca di dalam majlis ilmu, di hadapan para ulama. Dikatakan di dalam kitab Al-Qaniyah: ‘Orang yang duduk di masjid boleh berdiri untuk menghormati orang yang memasuki masjid dan orang yang membaca Al-Quran pun boleh berdiri untuk menghormati orang yang datang. Semua itu tidak dibenci kalau sekadar sebagai penghargaan yang layak.’
Di dalam Musykilul Atsar tertulis: ‘Pada dasarnya, berdiri untuk orang lain tidaklah dibenci .Yang dibenci adalah keinginan seseorang agar orang berdiri baginya dan sesungguhnya orang yang berdiri bagi orang yang tidak berdiri baginya dibenci.’
Berkatalah Ibnu Wahban: ‘Aku berkata bahwa pada zaman ini kita harus mengetahui hal itu. Artinya, berdiri itu dapat menghapuskan dengki, benci dan permusuhan, apalagi kalau berlangsung pada kesempatan-kesempatan di mana orang biasa berdiri. Apa yang terpapar tentang kebiasaan orang yang suka berdiri dengan berpegangan tangan ialah, sebagaimana yang dilakukan oleh golongan Turki dan ‘Ajam.’
Berkatalah Abu Sulaiman Al-Khatabi Asy-Syafi’i untuk menerangkan hadis: Abu Daud meriwayatkan dari Abu Said Khudri Radiallahu‘anhu: ‘Sesungguhnya ketika Bani Quraizah menyatakan tunduk kepada hukum Saad, Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam mengutus (Saad) kepada mereka. Dia datang, Baginda bersabda: ‘Berdirilah, sambutlah pemimpin (sayyid) kamu atau orang yang terbaik dari kamu.’ Lalu dia datang dan duduk di sisi Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam.’
Al-Khatabi berkata: ‘Diketahui bahwa panggilan seseorang kepada kawannya : ‘Ya sayyidi’ tidak dilarang asalkan kawannya seorang yang baik dan terhormat. Namun hal itu dibenci apabila dilakukan kepada orang fajir.’
Termasuk di dalamnya berdirinya orang bawahan untuk menyambut orang atasannya yang terhormat dan wali yang adil dan berdirinya pelajar untuk menyambut gurunya adalah dipuji dan tidak dibenci. Yang dibenci adalah orang-orang yang memiliki sifat sebaliknya.
Al-Khatabi berkata pula di dalam syarah hadis Abu Daud yang diriwayatkan oleh Muawiyah, katanya : ‘Aku mendengar Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barangsiapa suka membuat orang-orang berdiri baginya, hendaknya dia menyiapkan dirinya di dalam api neraka.’
‘Sabda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam “membuat” maksudnya orang-orang berdiri menghadap kepadanya dan bertujuan untuk menyuruh mereka melakukan hal itu bahkan mengharuskan mereka, berdasarkan kesombongan dan kebongkakan.’
Di dalam Musnad Imam Ahmad dikatakan: ‘Berdirilah bagi pemimpin kamu dan sambutlah dia.’
Tetapi pada akhir beritanya, dia membela masalah berdiri ini dengan mengajukan dalil : ‘Ada pemuda-pemuda dari Bani Abdul Asyhal yang berkata : ‘Kami berdiri di atas kaki kami dengan membentuk dua barisan, sehingga setiap orang dari kami selesai memberi hormat kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.’
Selanjutnya mari kita akhiri perbahasan ini dengan hadis tentang Hajar Aswad karena sesuai dengan topik ini, juga menjelaskan tentang dibolehkan menciumnya.
Dari Abu Said, katanya: ‘Aku berhaji bersama Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu. Ketika memulai tawaf, dia menghadap Hajar Aswad dan berkata: ‘Aku tahu engkau ini batu hitam yang tidak memberikan mudharat atau manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.’ Lalu dia menciumnya.’
Kemudian Ali berkata: ‘Tetapi, wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya batu itu memberi mudharat dan manfaat.’ Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu bertanya: ‘Dengan apa?’ Ali menjawab: ‘Dengan Kitabullah.’
Sesungguhnya Allah s.w.t. berfirman: ‘Dan (ingatlah wahai Muhammad) ketika Tuhanmu mengeluarkan dzuriat anak-anak Adam (turun-temurun) dari (tulang) belakang mereka, dan Dia jadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri, (sambil Dia bertanya dengan firmanNya): ‘Bukankah Aku Tuhan kamu?” Mereka semua menjawab: ‘Benar (Engkaulah Tuhan kami)’ (Al-A’raf:172)
Allah menciptakan Adam lalu mengusap punggungnya dan menetapkan kepada mereka bahwa Dia adalah Tuhan mereka, sedangkan mereka adalah hamba-hambaNya. Dia mengambil janji dan sumpah serta menuliskan hal itu di amad. Maka dengan ini, batu tersebut mempunyai mata dan lisan. Dikatakan kepadanya: ‘Bukalah.’ Dikatakan: ‘Lalu dia membuka dan menelan amad itu.’ Kemudian berkata: ‘Aku bersaksi bahwa orang yang memenuhimu akan kupenuhi pada hari kiamat.’
Dan aku bersaksi aku mendengar Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Hajar aswad akan didatangkan pada hari kiamat dengan memiliki lisan yang jelas dan bersaksi bagi orang yang mendatanginya dengan tauhid.’ Itulah, wahai Amirul Mukminin, mudarat dan manfaatnya.’ Kata Umar Al-Khattab Radiallahu‘anhu: ‘Aku berlindung kepada Allah supaya tidak hidup di antara orang-orang yang anda tidak berada di dalamnya, wahai Abal Hasan.’ (Hadis riwayat Al Hakim di dalam kitab Al Mustadrak dan diakui oleh Al-Hafizh Az-Zahabi di dalam kitab At-Talkhis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar